Senin, 29 Juni 2009
Deskripsi Diri
LAMPIRAN P.V
INSTRUMEN SERTIFIKASI DOSEN
Deskripsi Diri
IDENTITAS DOSEN
1. Nama Dosen yang diusulkan : Drs. Khoirul Abror, M.H
2. NIP/NIK/NRP : 150231379
3. Perguruan Tinggi Pengusul : IAIN Raden Intan Lampung
4. Nomor Peserta :
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
DEPARTEMEN AGAMA RI
2009
BAGIAN I
A. Pengembangan Kualitas Pembelajaran (Usaha dan Dampak Perubahan)
Perlu saya informasikan, bahwa pendidikan saya adalah alumni Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Jurusan Peradilan Agama (S1 tahun 1986), dan Fakultas Hukum Universitas Lampung, Konsenterasi Hukum Pidana Ekonomi (S2 tahun 2003)
Mata Kuliah yang saya tempuh (asuh) beberapa tahun terakhir ini adalah, Mata Kuliah Fiqh; meliputi Fiqh Ibadah, Fiqh Munakahat. dan Ilmu Akhlak.
Ketiga mata Kuliah tersebut, (Fiqih Munakahat dan Ilmu Akhlak) merupakan mata kuliah teoritis, sedangkan mata kuliah (Fiqh Ibadah) selain bersifat teoritis, juga bersifat aflikatif, melalui latihan-latihan, baik di kelas, maupun di Masjid melalui program Praktik Pengamalan Ibadah (PPI).
Pada awalnya dalam memberikan kuliah, saya cenderung menggunakan metode ceramah divariasikan dengan tanya jawab/ diskusi dengan porsi 60 % ceramah dan 40 % tanya jawab/ diskusi. Dengan strategi demikian, setelah saya amati aktivitas dan antusias belajar mahasiswa biasa-biasa saja, dan hasilnya juga biasa-biasa saja, dalam arti kurang menggembirakan.
Menyadari hal tersebut, secara bertahap tahun demi tahun saya memberikan strategi pengajaran yang sama dengan diawali Kontrak Pembelajaran kepada mahasiswa. dengan menggunakan porsi ceramah 40 % dan tanya jawab/ diskusi 60 %, dan saya buatkan/siapkan buku ajar sebagai bahan bacaan mereka, dengan judul ”Fiqh Ibadah-I”cet. April 2002, ISBN:979-3161-01-0) . Latihan-latihan yang semula cukup di kelas, dan di kelompok, ditambah deangan latihan praktik di Masjid
Contoh: Latihan sholat Janazah, Praktik Pembuatan Kain Kafan bagi orang meninggal. Mahasiswa langsung berpraktik dengan menggunakan peralatan gunting dan kain secukupnya, serta boneka, sekaligus mengaplikasikan dan menjalankan kewajiban ibadah bersama.
Dengan kondisi demikian, antusias dan aktifitas belajar mahasisawa menjadi lebih bergairah dan meningkat, yang semula tidak tau sehingga mereka paham dan tau begitu juga pemahaman mereka terhadap materi. Demikian pula hasil belajarnya, menunjukkan hasil yang menggembirakan. Bahkan mahasiswa mengusulkan siap untuk dibentuk kelompok pembuat kain kafan, yang apabila sewaktu-waktu diperlukan bagi keluarga yang meninggal
Kepada teman-teman dosen (sejawat) dan dosen pengasuh mata kuliah yang sama pada program studi yang berbeda, hal ini saya sosialisasikan, dan sampai saat ini saya dan teman-teman telah mensosialisasikan secara rutin.
B. Pengembangan Keilmuan/ Keahlian Pokok (Produktivitas dan Makna Kerja Ilmiah
Sampai pada tahun 2009 ini, sudah 21 tahun saya bertugas sebagai dosen tetap di Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Bandar Lampung, yaitu sejak tahun 1988 sampai saat ini. Selama 21 tahun tersebut sudah banyak pula kegiatan keilmuan (Penelitian) yang telah saya laksanakan, antara lain sebagai berikut:
1. “Klinik Tradisional Dalam Upaya Menghimpun Tenaga Kerja Wanita, Studi Kasus Pada Panti Pijat di Kecamatan Teluk Betung Selatan” (Penelitian Individu), yang dibiayai oleh SPP/DPP IAIN Raden Intan Tahun 1999
2. “Problematika Pengurusan Janazah Tanpa Identitas” Penelitian yang dibiayai oleh SPP/DPP IAIN Raden Intan Th 2001, (ISBN: 979-3161-01-9)
3. Menyusun Buku dengan judul “Fiqh Ibadah” Jilid-I, Cet. April 2002, (ISBN: 979-3161-01-0) atas biaya sendiri
4. “Antisipasi dan Solusi Kekerasan Massa” (Hasil Penelitian yang dipublikasikan Dalam bentuk Buku yang diterbitkan dan diedarkan secara Nasional, Desember 2003, (ISBN: 979-3161-42-6)
5. “Analisis Hukum Islam Tentang Panti Pijat” (Hasil Penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan Kebudayaan Islam), Al-‘Adalah, No.4 Edisi Januari-April 2004, ISSN: 0854-1272) atas biaya sendiri
6. “Dakwah Pembangunan”, (Hasil Penelitian/ Pemikiran yang dipublikasikan dalam bentuk buku yang diterbitkan dan diedarkan secara Nasional), Mei 2005, (ISBN: 979-3161-49-3).
7. ”Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan Pidana”. (Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan Kebudayaan Islam) Al-‘Adalah No. 10 th 2006, ISSN: 0854-1272
8. “Derita Korban Perkosaan sedarah (Incest)”. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan Kebudayaan Islam Al-‘Adalah No. 9 th 2006, ISSN: 0854-1272
Disamping mengadakan penelitian, juga sering mengikuti dan menulis karya ilmiah lain seperti: Lokakarya, dalam Jurnal dan harian Media Massa, antara lain sebagai berikut:
1. “Dari Kerangka Dasar LKM Menuju Insan Kampus Yang Berkualitas” dipublikasikan dalam Majalah ilmiah Menara Intan Tahun VIII No. 5 & 6 Edisi September 1989
2. “Perspektif Islam Tentang Homo Seks” yang dipublikasikan dalam Majalah Al-‘Adalah No. 8 Edisi Juli - September 1993
3. “Wanita dalam Sorotan Islam Dulu dan Kini” (Karya Ilmiah dalam Majalah Al-‘Adalah No.11 Edisi April - Juni 1995
4. ‘Hukum Islam Tentang Hadhonah” (Karya Ilmiah dalam Majalah Al-‘Adalah No. 12 Edisi Juli - September 1995
5. “Konsepsi Hukum Islam Menuju Keluarga Bahagia” (Karya Ilmiah dalam Majalah Al-‘Adalah No. 14 Edisi Maret 1996
6. “Ibadah Haji Bagi Tuna Netra” (Karya Ilmiah dalam Majalah Al-‘Adalah No. 20-21 Edisi Juli 1998
7. “Membingkai Potret Laboratorium PPI Fakultas Syari’ah” (Karya Ilmiah dalam rangka Lokakarya Laboratorium Hukum Islam Fakultas Syari’ah) Tahun 1999
8. “Zakat Pegawai Negeri Dalam Perspektif Hukum Islam” yang dipublikasikan dalam Majalah Al-‘Adalah No.25 Edisi Agustus-Des 2000
9. “Narkoba, Bahaya, Sangsi Hukuman dan Upaya Penanggulangannya” (Karya Ilmiah/ Diskusi 29 Februari 2000
10. “Kejahatan Pukat Harimau” yang dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan Kebudayaan Islam) Al-‘Adalah No. 3 Edisi September-Desember 2003
11. “Islam, Terorisme Dan Bom Bali” (dalam sebuah renungan), yang dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan kebudayaan Islam Al-‘Adalah No.1-2 Edisi Agustus 2003
12. “Isu Terorisme Dan Kepentingan AS”, Artikel yaqng dipublikasikan dalam Koran/harian Media Massa, Lampung Post (Ruang Opini), Senin, 08 September 2003, hlm: 07
13. “Menyelamatkan STPDN” Artikel yang dipublikasikan dalam Koran/harian Media Massa, Lampung Post (Ruang Opini), Rabu, 01 Oktober 2003, hlm: 07
14. “Pengendalian Diri” Artikel yang dipublikasikan dalam Koran/harian Media Massa, Lampung Post “Ruang Opini”, Jum’at, 24 Oktober 2003, halaman 07
15. “Karakter Pemimpin Ideal” Artikel yang dipublikasikan Dalam Koran/harian Media Massa, Lampung Post “Ruang Opini”, Jum’at, 28 November 2003, halaman 07)
16. “ajaran Islam Tentang Makna Idulfitri”, yang dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan Kebudayaan Islam Al-‘Adalah No. 6 Edisi Sept-Des 2004
Selain mengadakan penelitian dan menyusun buku, serta menulis dalam jurnal ilmiah, saya juga sering mengikuti aktivitas ilmiah lain seperti: Seminar, Work Shop (pelatihan), mulai dari level Program Studi, Jurusan, lokal, regional, nasional dan Internasional yang antara lain:
1. Peserta Seminar Nasional ”Syirkah ’Inan Sebagai Badan Usaha Ekonomi Fakir Miskin Penerima Zakat, dalam Perspektif ke-Indonesiaan” (di Bandar lampung, 18-19 Januari 1993)
2. Pendidikan dan Pelatihan Kader Fungsional ”Pers dan Media Massa” Golongan Karya Tingkat I Lampung, di Gedung Golkar, 22 – 23 Juli 1995
3. Peserta “Semiloka Peduli Syari’ah”, Mencari titik Temu Lembaga-lembaga Syari’ah di Indonesia, yang diselenggarakan di IAIN Jakarta, (26-27 Juni 2001)
4. Pelatih ”Training Of Trainers (TOT) Seni Baca Al-Qur’an (31 Agustus-13 September 2004)
5. Peserta “Lokakarya Nasional/ Diskusi Panel Pengembangan Master Plan IAIN Raden Intan Menuju UIN 2004/2005-2014/2015” ,15 Septembr 2004
6. Peserta “Seminar Nasional dan Lokakarya Pengembangan Master Plan IAIN Raden Intan Bandar Lampung Menuju UIN” , 29 Septembr 2004
7. Peserta ”Seminar dan Lokakarya Pendirian Lembaga Pendidikan dan Bantuan Hukum Fak.Syari’ah IAIN Raden Intan, 30 Desember 2004
8. Peserta “Lokakarya dan Simposium Nasional Kurikulum Fakultas Syari’ah” (05-06 Desember 2005)
9. Peserta Seminar “International Conference on Social Develoment” diselenggarakan di Balai Keratun Gubernuran Lampung, 22 Juli 2006
10. Peserta Seminar Nasional “Prospek dan Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia” diselenggarakan di Gedung Wanita Metro,19 Septemb 2006
11. Peserta Seminar Nasional “Penentuan Awal Bulan Qamariyah Antara Hisab dan Rukyat” , 04 Desember 2006
12. Peserta ”Pelatihan Pelatih Tenis Meja Se-Kota Bandar Lampung” (30 Juni - 01 Juli 2007)
13. Peserta Seminar International “Challenges and Opportunities For IAIN Raden Intan Bandar Lampung in Global Era” diselenggarakan di Hotel Marcopolo, 26 Nopembr 2007
Keikutsertaan dalam penyelenggaraan kegiatan ilmiah, antara lain:
1. Anggota Pengarah, Seminar Sehari ”Islam dan Etika Berpolitik”, 29 Februari 1999
2. Wakil Ketua “Seminar Nasional Zakat dan Pajak dalam Perspektif Hukum Islam”, 05 Mei 1999
3. Ketua Pelaksana ”Tim Pelaksana Pelatihan Seni Baca Al-Qur’an”, 28 Agustus 2004
4. Sekretaris Tim Pelaksana “Konsorsium Ilmu Kesyari’ahan IAIN Raden Intan”,16 April 2007
Melalui kegiatan dan keikutsertaan dalam penelitian, seminar dan pelatihan ilmiah tersebut di atas, diharapkan dapat memperluas wawasan dan sekaligus mempertajam analisa keilmuan yang saya geluti.
Buku dengan judul “Fiqh Ibadah” Jilid-I, Cet. April 2002, (ISBN: 979-3161-01-0)
tersbut juga, digunakan sebagai acuan bagi masyarakat yang tergabung dalam kelompok pengajian di masjid tempat saya berdomisili.
Saya juga sedang menulis buku ajar untuk keperluan mahasiswa, yaitu Fiqh Ibadah Jilid II sebagai kelanjutan Fiqh Ibadah Jilid I.. Mudah-mudahan buku tersebut dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
C. Peningkatan KualitasManajemen/ Pengelolaan Institusi (Perubahan Pengelolaan, Implementasi dan Dukungan Institusi)
Saya mulai mengajar di Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Bandar Lampung sebagai tenaga pengajar tidak tetap (Dosen Luar Biasa/ DLB) dari tahun 1986; kemudian diangkat sebagai Dosen Tetap dari bulan Oktober 1988. Selama bertugas sebagai dosen/ pengajar di IAIN Raden Intan, pengalaman dan kontribusi pemikiran saya dalam pengelolaan institusi antara lain sebagai berikut:
1. Pada awal bertugas di Fakultas Syari’ah dengan status sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, saya ditugaskan sebagai staf, yang bertugas membantu sie Keuangan dan Material Fakultas Syari’ah.
Perubahan yang signifikan setelah tiga bulan saya bertugas, bila sebelumnya honor Dosen/ Tenaga Pengajar, baru diterima setelah satu bulan (30 hari) berikutnya, karena terlambat pengetikan, penghitungan dan pencairan di Rektorat. Alhamdulillah dapat dipercepat dalam tenggang waktu lima sampai sepuluh hari bulan berikutnya (muncul istilah diterima sebelum keringat kering).
2. Ketua Jurusan Jinayah Siasah (JS) Fakultas Syari’ah (1998-2002). Sebagai penyelenggara Pendidikan dan Pengajaran, pengelolaan administrasi jurusan dan penyelenggaraan ujian akhir untuk mahasiswa yang akan menenmpuh ujian skripsi, ujian Komprehensip.
Pada awal bertugas, belum ditemukan buku agenda khusus yang sepesialisasi dalam bidang-bidang kegiatan jurusan, yang ada hanya arsip lembaran jadwal ujian skripsi, jadwal ujian komprehensip,. Namun alhamduliillah saya dapat menghimpun khusus buku agenda ujian-ujian tersebut, termasuk menghimpun daftar nama alumni Jurusan dari beberapa tahun sebelumnya.
Pada periode Dekan sebelumnya, insentif Kajur dan sekjur amat tidak layak yaitu Rp 100.000. potong 15 % untuk kajur dan Rp 75.000 potong 15 % untuk sekjur, Kemudian timbul insisiatif dan atas kesepakatan serta kerjasama dengan Kajur-kajur yang lain, mengusulkan kepada Rektor untuk dipertimbangkan kembali kelayakan insntif Kajur dan Sekjur. Alhamdulillah, tahun berikutnya, mendapat respon yang baik dan usulan kami dipenuhi oleh Rektor.
Ketika Tim Akreditasi turun dari Jakarta, akan menilai untuk yang pertamakalinya di IAIN (termasuk pada Jurusan JS), saya bersama Sekjur JS yang belum mengerti kriteria apasaja yang akan dinilai oleh TIM dikala itu. Karena adminstrasi yang sudah tersusun jauh sebelum kedatangan tim, data yang sudah terhimpun, karya ilmiah yang sudah terdeteksi jauh sebelumnya, bukan karena ada TIM, saya tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk menunjukan bukti (data yang ada), hasilanya alhamdulillah Akreditasi pertamakali pada Jurusan JS mendapat nilai “B”. Pimpinan fakultas mengacungkan jempol atas perolehan nilai yang menggimbirakan hati untuk yang pertama kalinya ini.
3. Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Syari’ah (2006-2007). Sebagai Pembantu Dekan III Pengganti Antar Waktu (PAW), karena pejabat sebelumnya meninggal dunia, saya terpilih oleh anggota Senat untuk meneruskannya. Tidaklah banyak kegiatan yang saya lakukan, karena waktunya amat singkat. Meskipun demikian karena banyaknya kegiatan olahraga bagi mahasisiwa antar fakultas dan antar Perguruan Tinggi, sementara di Fakultas Syari’ah tidak ditopang akan sarananya, maka saya mengaktifkan olahraga bagi Mahasiswa yang hobbi, dan mengusahakan Meja olahraga Tenis meja yang barui. Alhamduilillah mendapat restu dari Dekan sehingga Meja Tenis Meja yang baru terujud berikut perangkatnya, dan mengusahakan sarana olahraga Catur. Sedangkan lapangan dan sarana Volly Ball belum terealisasi pada saat itu.
Karena kegiatan ilmiah mahasiswa yang hampir fakum, maka saya menginstrusksikan program bedah buku untuk merealisasikan dana mahasiswa yang hampir tiap tahun terdapat sisa yang tidak terpakai lantaran tidak ada kegiatan. Alhamdulillah Mahasiswa dari 3 Jurusan yang berbeda dapat melakukan kegiatan bedah buku ilmiah dengan mendatangkan Nara sumber dari unsur Dosen dikalangan sendiri dan dari Universitas Lampung; dan bersama mahasiswa menggalakkan ceramah dan diskusi ilmiah dalam mengisi aktivitas menjelang berbuka Romadhon dan taraweh bersama.
Untuk menopang alumni fakultas Syari’ah, saya dipercaya oleh Dekan untuk menggagas dan memprakarsai berdirinya LKBH (Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum). Setelah Proposal selesai saya buat, dan saya konsultasikan dengan LKBH yang ada di Universitas Lampung, Konsultasi dengan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) serta mengadakan kontak dengan Ketua Asosiasi Syari’ah yang berpusat di IAIN Semarang untuk melobi kesediaannya, namun periode jabatan saya berakhir, maka pekerjaan itu belum terselesaikan dengan sempurna. Namun alhamdulillah gagasan itu disahuti positif dan kini ditindak lanjuti oleh Pimpinan Fakultas periode setelahnya, sehinga berdirilah LKBH Fakultas Syari’ah sampai sekarang ini.
D. Peningkatan Kualitas Kegiatan Mahasiswa (Perubahan Pengelolaan, Implementasi Kebijakan, dan Dukungan Institusi)
Dalam meningkatkan kegiatan mahsiswa, usaha-usaha yang pernah dan selalu saya lakukan antara lain sebagai berikut:
1. Sebagai Dosen Pembimbing Akademik (PA)
Setiap tahun ajaran, saya mengumpulkan mahasiswa semester awal di bawah bimbingan saya dengan mengambil tempat di ruangan kerja saya, terkadang di ruangan kelas, atau ruangan rapat, untuk memebritahukan bahwa saya sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang bertugas, berkewajiban dan berkedudukan sebagai orang tua mahasiswa di kampus. Sehingga setiap mahasiswa dapat berkonsultasi kepada saya sebagai Dosen PA, kapan saja dan dimana saja, secara langsung atau via handphon (HP) untuk menyampaikan berbagai masalah yang tidak dapat dipecahkan sendiri, baik yang berkenaan dengan mata kuliah, masalah judul skripsi, maupun masalah pribadi, sehingga dapat memperlancar timing dan planing perkuliahan.
2. Sebagai Dosen Pengasuh Mata Kuliah
Pada awal perkuliahan, terlebih dahulu saya mengenalkan diri dan mengadakan kontrak pembelajaran dengan mahasiswa secara bersama-sama, literatur yang perlu dibaca, deskripsi mata kuliah dan Satuan Acara Perkuliahan (SAP), kegiatan tatap muka, tugas dan keriteria hasil penilaian. Pada kuliah selanjutnya materi yang saya ajarkan selalu saya berikan contoh yang aktual dalam kehidupan masyarakat.
Strategi yang saya gunakan terkadang: - Critical insident (Pengalaman Penting), - Question Students Have (Pertanyaan Mahasiswa), - Active Debate (Debat aktiv), - Modeling the Way (Memberi Contoh Demonstrasi), - Lightening the learning (Menghidupkan Suasana Belajar), - Bermain jawaban. Setelah akhir perkuliahan, saya meminta mahasiswa untuk menilai saya, terkadang secara lisan dan terkadang membagikan angket untuk menilai saya baik dalam penampilan, maupun dalam kegiatan mengajar serta memberi saran dan masukan, sehingga diharapkan perkuliahan yang akan datang dapat lebih baik lagi.
3. Sebagai Dosen Praktik Pengamalan Ibadah (PPI)
Dalam menjalankan Praktik Pengamalan Ibadah, Mahasiswa dituntun praktik sholat janazah dan Pembuatan Kain Kafan (untuk orang meninggal); mahasiswa langsung praktik dengan menggunakan peralatan gunting dan kain secukupnya, serta boneka. Setelah selesai praktik, mahasiswa diuji keberaniannya, siapa yang berani membuat kain kafan yang apabila ada orang meninggal lalu membutuhkan kita. Bila ada yang berani, akan saya panggil untuk datang. Dari sekian mahasiswa itu ada yang berani mengangkat tangan siap untuk dipanggil apabila ada yang membutuhkan untuk membuat kain kafan bila terjadi ada yang meninggal.
4. Sebagai Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) dan KKN
Program Praktik Peradilan Semu yang diselenggarakan oleh Laboratorium Hukum Islam (LHI) bekerjasama dengan Pengadilan Agama (PA) Tanjungkarng. Dalam praktiknya mahasiswa dituntun praktik beracara, yang pada mulanya mahasiswa diwajibkan mengikuti teori, lalu mengahadiri sidang di PA selama 5 x sidang, setelah itu praktik di lokal khusus, sebagaimana yang telah dilihat, lalu diterapkan, ada yang bertindak sebagai Hakim, Panitera, Penggugat dan Tergugat dibawah bimbingan Hakim PA dan Dosen Pembimbing Lapangan.. Tugas saya mengontrol, mengarahkan pembuatan laporan dan menilai hasil keraja dan laporannya.
Sebagai Dosen Pembimbing KKN
Bagi Mahasiswa, KKN adalah salahsatu kegiatan yang harus ditempuh oleh mahasiswa semester V dan VII agar KKN berjalan efektif, selama kegiatan KKN mahasiswa dipandu oleh Dosen Pembimbing Lapangan KKN. Kegiatan saya sebagai DPL-KKN, dimulai dari mengarahkan dari kampus, membimbing, mengarahkan dan mengontrol kegiatan mahasiswa di lapangan, pulang ke kampus dan membimbing pembuatan laporan, serta menilai hasil kerja mahasiswa KKN.
5. Sebagai Dosen Pembimbing Skripsi
Tugas akhir mahasiswa adalah membuat karya ilmiah/ skripsi dan ujian skripsi. Selama penyusunan skripsi, mahasiswa dibantu oleh Dosen Pembimbing. Selaku pembimbing, saya mengarahkan mahasiswa dari menyusun proposal skripsi, seminar proposal, perbaikan hasil seminar, ke lapangan, seminar hasil penelitian, dan diakhiri dengan ujian skripsi. Dalam mengoreksi skripsi, saya tidak ingin berlama-lama, ada yang dikoreksi saat itu juga, dan ada yang dikoreksi dengan limit 2 hari. Semua kegiatan sehubungan dengan skripsi, saya harus sabar, teliti, dan serius. Jika tidak demikian hasilnya tidak memuaskan. Alhamdulillah semuanya dapat saya laksanakan dengan baik dan mahasiswanya juga merasa puas dengan hasil kerjanya..
E. Peningkatan Pengabdian Kepada Masyarakat (Kegiatan dan Implementasi Perubahan serta Dukungan Masyarakat )
Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat yang telah saya laksanakan antara lain:sebagai berikut:
1. Memeberikan Khutabah Juma’at pada Masjid Baitul Muslimin, Masjid Al-Muhajirin, Masjid Al-Rahman dan Masjid Hafshatul Iman, sebagaimana telah dijadwalkan.
Dalam memberikan Khutbah, saya menyampaikan selain pesan agama, juga diramu dengan fenomena yang terjadi di Bumi Indonesia ini. Sampai saat ini saya masih tetap dijadwal untuk menjadi khatib di berbagai masjid.
2. Selain Sebagai Imam Tetap di Masjid Al-Muhajirin, juga sering memberikan pengajian Bapak-bapak, Ceramah menjelang taraweh (yang terjadwal) disetiap bulan ramadhon pada keempat masjdi diatas, kecuali itu pada masjid lain yang bersifat insidental. Setelah selesai taraweh hampir ada petanyaaan dari masyarakat tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan bidang agama.
3. Menjadi Pengurus Rukun Kematian, dalam pelaksanaannya apabila terdapat kematian khususnya bagi kaum laki-laki, saya sering dipercaya oleh masyarakat dan ahli waris yang ditinggalkan, untuk memimpin shalat janazah dan membuatkan Kain Kafan bagi keluarga yang meninggal, bahkan memimpin acara di kuburan/ pemakaman.
4. Bersama teman-teman sebagai pengurus Baitul Mal wa Tamwil (BMT) al-Muhajirin. Dalam pelaksanaannya, saya sebagai Dewan Pertimbangan Kesyari’ahan. Alhamdulillah BMT tersebut semakin mengalami kemajuan dan dapat membantu pedagang kecil dan atau orang yang sedang membutuhkan pinjaman dana. Dengan didirikanna BMT ini, masyarakat sekitar meyahutinya dengan senang hati tanpa ada paksaan.
5. Mengadakan Qurban bersama Tabungan Qurban), dalam pelaksanaannya setiap 7 orang dikelompokan menjadi satu untuk menggotong pembelian hewan sapi. Aplikasinya hampir setiap hari raya Qurban, Masjid Al-Muhajirin tidak sepi dari pemotongan hewan qurban untuk dibagikan kepada fuqara wal masakin yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal saya. Masyarakat amat mendukung dengan program ini, dan fakir miskin mnyambut gembira atas pelaksanaannya..
6. Mengadakan sarana olahraga Tenis Meja, dalam pelaksanaanya, setiap sore masyarakat yang gemar bermain tenis meja sambil berolahraga, datang dan kumpul bermain. Hal ini dirasakan bagi yang hobi untuk meningkatkan daya kesehatan, selain itu juga berjiwa spotifitas dalam berolahraga.
BAGIAN II
F. Faktor Pribadi dalam Berbagai Situasi dan Kondisi (Kendali diri, Kesabaran, Ekspresi Perasaan dan Rasionalitas)
Sebagai seorang pendidik (dosen), saya senantiasa sadar dan selalu berusaha agar dapat mengendalikan diri, baik di kampus dengan mahasiswa, teman sejawat, atasan, maupun dalam pergaulan sehari-hari ditengah masyarakat umumnya.; demikian juga dalam forum-forum ilmiah, seminar, diskusi, pnengendalian diri menjadi keberhasil setiap individu, terlebih lagi saya menyadari, bila saya sebagai tenaga pengajar di sebuah lembaga perguruan Tinggai Agama Islam Negeri.
Berkenaan dengan kesabaran, saya menyadari, bila saya merupakan seorang kurang penyabar, akan tetapi sebagai seorang pendidik (dosen) saya juga menyadari harus bersikap tegas, baik dalam mengahadapi mahasiswa, teman sejawat, dalam lingkungan rumah dan tetangga. Kendali diri dan sabar sudah menjadi komitmen hidup saya, saya bersemboyan: “Menjadi seorang pemarah itu gampang, tapi menahan kemarahan tidaklah mudah”.
Dalam kehidupan betetangga, ketika terjadi keributan di rumah tetangga (suami isteri) yang tidak jauh dari tempat tinggal saya, yang mengakibatkan sang isteri kabur dan tidak mau pulang, lebih baik cerai daripada kembali. Saya diminta untuk berupaya mendamaikan, menasehati dan membujuk untuk rukun kembali. Alhamdulillah upaya saya berhasil, sehingga kelauarga dekat mereka juga berterimakasih atas upaya yang telah saya laukukan.
G.. Etos Kerja (Semangat, Target Kerja, Disiplin dan Ketangguhan)
Menjadi guru atau dosen adalah merupakan pilihan dan cita-cita saya sejak kecil, sejak Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi saya selalu memperhatikan ragam variatif yang dilakoni oleh masing-masing guru/dosen, ada yang santai, disiplin, ramah, kejam, menyenangkan dan menakutkan. Ada yang tampak menguasai materi dan ada yang tidak. Melihat keragaman sifat dan pola itu saya mengambil contoh: yang palig disenangi oleh kebanyakan murid/ mahasiswa. .
Ketika saya kuliah di tingkat Doktoral I (tingkat IV tahun 1984), selesai Sarjana Muda, saya ditawari oleh seorang dosen senior yang ada di Fakultas Syari’ahuntuk menjadi asisten beliau untuk mengajar mata kuliah Pengantar Ilmu Tafsir, tanpa pikir panjang saya sahuti dan saya terima tawaran itu, perasaan saya ketika itu, ibarat mendapatkan bintang terang dan bulan purnama.
Selama 6 bulan (satu semester) saya mengajar, dengan penuh kesungguhan dan disiplin yang tinggi alhamdulillah saya mampu menurut ukuran saya. Setelah berjalan 1 tahun (ketika saya kuliah tingkat Doktoral II/ Tingkat V), saya juga mendapat tawaran dari dosen senior yang lain juga dalam mata kuliah Fiqh Ibadah. Alhamdulillah dengan berkat kejujuran, kesabaran, kesungguhan dan kedisiplinan, beberapa bulan sejak ujian akhir Sarjana/ sekarang S1 bulan April 1986 saya diarahkan oleh beberapa dosen senior untuk mendaftarkan diri menjadi Calon Dosen tetap di Fakultas Syari’ah., pada bulan Oktober 1986 saya mengikuti tes dan dinyatakan diterima menjadi CPNS terhitung bulan April 1987. Pada bulan Mei 1987 saya dipanggil untuk bekerja pada Fakutas Syari’ah. Kurang lebih 3 bulan saya bekerja, atas kepercayaan Fakultas saya diserahi tugas mengelola tugas Kasi Keuangan dan Matrial, lanataran Kasi Keuangan dan Matrial (Keumat) ketika itu masuk usia pensiun.
Tugas-tugas ini saya anggap amanah, dan saya berusaha melaksanakan dengan senang hati, semangat, dan tepat waktu. Pekerjaan yang dapat saya selesaikan hari ini, saya usahakan selesai hari itu juga dengan baik, bahkan saya bawa pulang (lembur di rumah) sehingga keesokan harinya pekerjaan sudah terselesaikan semua.
Dalam menjalankan tugas saya memiliki target yang dilandasi disiplin yang tinggi, Contohnya: - Tatap muka di kelas dengan mahasiswa, saya selalu memenuhi target maximum tatap muka.; - Koreksi ujian smester, saya selalu menyerahkan tepat waktu (tidak lebih dari 7 hari) setelah pelaksanaan ujian; - Dikala menjalani studi S2 di Unila, saya tidak mendapatkan baiaya bantuan studi selama 2 smester pertama, sebagaimana teman-teman yang lain, namun menurut saya, hal itu bukan merupakan kendala yang pokok, prinsip hidup saya, “Allah akan memeberikan rizki bukan hanya dengan satu jalan”
.
H. Integritas Diri (kejujuran, Keteguhan pada Prinsip, Konsisten, Tanggung jawab, dan Keteladanan..
Kejujuran saat ini sangat mahal, orang jujur sudah langka, tetapi masih ada orang jujur saat ini dikatakan bodoh alias tidak normal. Akan tetapi saya senang pada orang jujur.
Saya merasa diri saya sebagai orang yang jujur, karena saya merasa tidak memanfaatkan harta benda baik milik pribadi maupun milik negara yang saya selewengkan. Perinsip hidup yang saya pegang adalah: biarlah saya tidak punya, daripada menyimpangkan dan menyelewengkan hak dan kepunyaan orang lain.
Saya menduga, bahwa amanah dan jabatan yang pernah saya emban selama ini diperoleh karena sifat jujur, teguh pada pendirian, dan rasa tanggungjawab pada tugas. Selama saya dipercaya menduduki jabatan, saya belum pernah menyia-nyiakannya. Demikian juga terhadap anak dan isteri, keterbukaan terhadapsesuatu hal selalu diutamakan dengan cara musyawarah mufakat.
Saya selalu menjaga sikap, tingkah laku dan/atau etika terhadap sesama mahasiswa, sesama teman sejawat, sesama atasan, demikian juga terhadap rumah tangga dan terhadap lingkungan sekitar tempat tinggal. Saya akan mengatakan “Ya” kalau memang hal itu benar, dan saya akan mengatakan “Tidak” kalau hal itu memang salah.
I. Keterbukaan Terhadap Kritik, Saran, dan Pendapat orang Lain (Penyikapan dan Penerimaan)
Selama saya menjadi dosen dan pejabat, baik di dalam kampus, di luar kampus, maupun di tengah masyarakat, saya tidak alergi dengan keritik/ saran dan atau pendapat dari orang lain. Keritik dari teman sejawat, atasan langsung, mahasiswa, dan bahkan dari sanak keluarga, ahli famili maupun masyarakat selalu saya terima, saya renungkan, dianalisa, mana yang baik yang bersifat konstruktif, saya ucapkan terimaskih dan saya laksanakan. Saya berperinsip wajar-wajar saja, dan itulah kritik dan saran yang terbaik menuju perubahan yang lebih baik lagi. Memang pepatah mengatakan: “Gajah di pelupuk mata tak tampak, sementara Tungau diseberang lautan akan tampak”
J. Peran Sosial (Kemampuan Kerjasama dan Kemampuan Komunikasi)
Menurut hemat saya, bekerjasama dan berkomunikasi dengan siapa saja di kampus, di kantor, di lingkungan tetangga dan masyarakat sangat baik. Tanpa kerjasama dan komunikasi yang baik dengan sesama tiada berarti hidup ini. Sebagai Bukti Kerjasama dan Komunikasi ini seperti: Ketika saya dipercaya oleh Pimpinan Fakultas untuk menggagas pendirian Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum, saya berkonsultasi dengan LKBH Universitas Lampung, saya tukar pikiran dengan Ketua Asosiasi Advokat Indonesia Provinsi Lampung, dan minta pertimbangan dan Konsultasi dengan Ketua Asosiasi Syari’ah di IAIN Semarang. Contoh lain: Saya dipercaya untuk menjadi Wakil Ketua Seminar Nasional Zakat dan Pajak dalam Perspektif Hukum Islam (Mei 1999), dipercaya menjadi anggota Senat Fakultas (2004-2008), Personalia Laboratorium Hukum Islam (2004-2008), dipercaya menjadi Wakil Ketua Komite Sekolah SMPNegeri (2006-2009) menjadi .Biro Perdata Agama pada Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (2008-2012)
Di Lingkungan tetangga, saya masih dipercaya untuk menjadi Penasehat Pengurus Masjid, Pengurus Rukun Kematian, Pengurus BMT. Di Bandar Lampung saya dipercaya sebagai Pengurus Kota Tenis Meja Kota Bandar Lampung. Di tingkat Provinsi, saya masih dipercaya untuk menjadi Ketua bidang Pendidikan dan Agama Kosgoro Provinsi Lampung.
K. Orisinalitas (Kreativitas dan Inovasi)
Profesi saya adalah guru atau dosen, yang tugas utamanya adalah melaksanakan pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
Kreativitas dan inovasi diperoleh dari rutinitas tugas akademis belajar mengajar di kelas, dalam mengajar, dalam penelitian, selama ujian-ujian muncul inovasi belajar mengajar yang efektif.
Contoh:
- Ketika mahasiswa kesulitan mencari buku yang langka dijual di pasaran, saya mencoba menulis buku ajar, agar mahasiswa merasa terbantu refrensinya;
- Ketika melihat mayat, membaca harian media massa bahwa ditemukan mayat anonim di halaman pertokoan, lalu 2 hari bermalam di ruang unit janazah di Rumah Sakit karena tidak memiliki sanak keluarga, muncul pemikiran saya untuk meneliti tentang: “Problematika Pengurusan Janazah tanpa Identitas” (Studi di RSU Abdul Moeloek Provinsi lampung) Penelitian tahun 2001, (ISBN: 979-3161-01-9)
- Ketika maraknya Panti Pijat di Bandar Lampung, muncul pemikiran untuk meneliti tentang: “Klinik Tradisional Dalam Upaya Menghimpun Tenaga Kerja Wanita, Studi Kasus Pada Panti Pijat di Kecamatan Teluk Betung Selatan” (Penelitian Individu), Tahun 1999.
Deskripsi ini saya buat dengan sesungguhnya dari lubuk hati yang dalam, dan saya bertanggungjawab penuh atas kebenarannya, dan apabila diperlukan saya bersedia menyampaikan bukti-bukti terkait.
Mengetahui:
Atasan langsung
Ketua Jurusan Mu’amalah
Drs. H. Irwantoni, M.Hum
NIP. 150246830
Bandar Lampung, 15 April 2009
Dosen Bersangkutan,
Drs. Khoirul Abror, M.H
NIP. 150231379
INSTRUMEN SERTIFIKASI DOSEN
Deskripsi Diri
IDENTITAS DOSEN
1. Nama Dosen yang diusulkan : Drs. Khoirul Abror, M.H
2. NIP/NIK/NRP : 150231379
3. Perguruan Tinggi Pengusul : IAIN Raden Intan Lampung
4. Nomor Peserta :
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
DEPARTEMEN AGAMA RI
2009
BAGIAN I
A. Pengembangan Kualitas Pembelajaran (Usaha dan Dampak Perubahan)
Perlu saya informasikan, bahwa pendidikan saya adalah alumni Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Jurusan Peradilan Agama (S1 tahun 1986), dan Fakultas Hukum Universitas Lampung, Konsenterasi Hukum Pidana Ekonomi (S2 tahun 2003)
Mata Kuliah yang saya tempuh (asuh) beberapa tahun terakhir ini adalah, Mata Kuliah Fiqh; meliputi Fiqh Ibadah, Fiqh Munakahat. dan Ilmu Akhlak.
Ketiga mata Kuliah tersebut, (Fiqih Munakahat dan Ilmu Akhlak) merupakan mata kuliah teoritis, sedangkan mata kuliah (Fiqh Ibadah) selain bersifat teoritis, juga bersifat aflikatif, melalui latihan-latihan, baik di kelas, maupun di Masjid melalui program Praktik Pengamalan Ibadah (PPI).
Pada awalnya dalam memberikan kuliah, saya cenderung menggunakan metode ceramah divariasikan dengan tanya jawab/ diskusi dengan porsi 60 % ceramah dan 40 % tanya jawab/ diskusi. Dengan strategi demikian, setelah saya amati aktivitas dan antusias belajar mahasiswa biasa-biasa saja, dan hasilnya juga biasa-biasa saja, dalam arti kurang menggembirakan.
Menyadari hal tersebut, secara bertahap tahun demi tahun saya memberikan strategi pengajaran yang sama dengan diawali Kontrak Pembelajaran kepada mahasiswa. dengan menggunakan porsi ceramah 40 % dan tanya jawab/ diskusi 60 %, dan saya buatkan/siapkan buku ajar sebagai bahan bacaan mereka, dengan judul ”Fiqh Ibadah-I”cet. April 2002, ISBN:979-3161-01-0) . Latihan-latihan yang semula cukup di kelas, dan di kelompok, ditambah deangan latihan praktik di Masjid
Contoh: Latihan sholat Janazah, Praktik Pembuatan Kain Kafan bagi orang meninggal. Mahasiswa langsung berpraktik dengan menggunakan peralatan gunting dan kain secukupnya, serta boneka, sekaligus mengaplikasikan dan menjalankan kewajiban ibadah bersama.
Dengan kondisi demikian, antusias dan aktifitas belajar mahasisawa menjadi lebih bergairah dan meningkat, yang semula tidak tau sehingga mereka paham dan tau begitu juga pemahaman mereka terhadap materi. Demikian pula hasil belajarnya, menunjukkan hasil yang menggembirakan. Bahkan mahasiswa mengusulkan siap untuk dibentuk kelompok pembuat kain kafan, yang apabila sewaktu-waktu diperlukan bagi keluarga yang meninggal
Kepada teman-teman dosen (sejawat) dan dosen pengasuh mata kuliah yang sama pada program studi yang berbeda, hal ini saya sosialisasikan, dan sampai saat ini saya dan teman-teman telah mensosialisasikan secara rutin.
B. Pengembangan Keilmuan/ Keahlian Pokok (Produktivitas dan Makna Kerja Ilmiah
Sampai pada tahun 2009 ini, sudah 21 tahun saya bertugas sebagai dosen tetap di Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Bandar Lampung, yaitu sejak tahun 1988 sampai saat ini. Selama 21 tahun tersebut sudah banyak pula kegiatan keilmuan (Penelitian) yang telah saya laksanakan, antara lain sebagai berikut:
1. “Klinik Tradisional Dalam Upaya Menghimpun Tenaga Kerja Wanita, Studi Kasus Pada Panti Pijat di Kecamatan Teluk Betung Selatan” (Penelitian Individu), yang dibiayai oleh SPP/DPP IAIN Raden Intan Tahun 1999
2. “Problematika Pengurusan Janazah Tanpa Identitas” Penelitian yang dibiayai oleh SPP/DPP IAIN Raden Intan Th 2001, (ISBN: 979-3161-01-9)
3. Menyusun Buku dengan judul “Fiqh Ibadah” Jilid-I, Cet. April 2002, (ISBN: 979-3161-01-0) atas biaya sendiri
4. “Antisipasi dan Solusi Kekerasan Massa” (Hasil Penelitian yang dipublikasikan Dalam bentuk Buku yang diterbitkan dan diedarkan secara Nasional, Desember 2003, (ISBN: 979-3161-42-6)
5. “Analisis Hukum Islam Tentang Panti Pijat” (Hasil Penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan Kebudayaan Islam), Al-‘Adalah, No.4 Edisi Januari-April 2004, ISSN: 0854-1272) atas biaya sendiri
6. “Dakwah Pembangunan”, (Hasil Penelitian/ Pemikiran yang dipublikasikan dalam bentuk buku yang diterbitkan dan diedarkan secara Nasional), Mei 2005, (ISBN: 979-3161-49-3).
7. ”Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan Pidana”. (Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan Kebudayaan Islam) Al-‘Adalah No. 10 th 2006, ISSN: 0854-1272
8. “Derita Korban Perkosaan sedarah (Incest)”. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan Kebudayaan Islam Al-‘Adalah No. 9 th 2006, ISSN: 0854-1272
Disamping mengadakan penelitian, juga sering mengikuti dan menulis karya ilmiah lain seperti: Lokakarya, dalam Jurnal dan harian Media Massa, antara lain sebagai berikut:
1. “Dari Kerangka Dasar LKM Menuju Insan Kampus Yang Berkualitas” dipublikasikan dalam Majalah ilmiah Menara Intan Tahun VIII No. 5 & 6 Edisi September 1989
2. “Perspektif Islam Tentang Homo Seks” yang dipublikasikan dalam Majalah Al-‘Adalah No. 8 Edisi Juli - September 1993
3. “Wanita dalam Sorotan Islam Dulu dan Kini” (Karya Ilmiah dalam Majalah Al-‘Adalah No.11 Edisi April - Juni 1995
4. ‘Hukum Islam Tentang Hadhonah” (Karya Ilmiah dalam Majalah Al-‘Adalah No. 12 Edisi Juli - September 1995
5. “Konsepsi Hukum Islam Menuju Keluarga Bahagia” (Karya Ilmiah dalam Majalah Al-‘Adalah No. 14 Edisi Maret 1996
6. “Ibadah Haji Bagi Tuna Netra” (Karya Ilmiah dalam Majalah Al-‘Adalah No. 20-21 Edisi Juli 1998
7. “Membingkai Potret Laboratorium PPI Fakultas Syari’ah” (Karya Ilmiah dalam rangka Lokakarya Laboratorium Hukum Islam Fakultas Syari’ah) Tahun 1999
8. “Zakat Pegawai Negeri Dalam Perspektif Hukum Islam” yang dipublikasikan dalam Majalah Al-‘Adalah No.25 Edisi Agustus-Des 2000
9. “Narkoba, Bahaya, Sangsi Hukuman dan Upaya Penanggulangannya” (Karya Ilmiah/ Diskusi 29 Februari 2000
10. “Kejahatan Pukat Harimau” yang dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan Kebudayaan Islam) Al-‘Adalah No. 3 Edisi September-Desember 2003
11. “Islam, Terorisme Dan Bom Bali” (dalam sebuah renungan), yang dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan kebudayaan Islam Al-‘Adalah No.1-2 Edisi Agustus 2003
12. “Isu Terorisme Dan Kepentingan AS”, Artikel yaqng dipublikasikan dalam Koran/harian Media Massa, Lampung Post (Ruang Opini), Senin, 08 September 2003, hlm: 07
13. “Menyelamatkan STPDN” Artikel yang dipublikasikan dalam Koran/harian Media Massa, Lampung Post (Ruang Opini), Rabu, 01 Oktober 2003, hlm: 07
14. “Pengendalian Diri” Artikel yang dipublikasikan dalam Koran/harian Media Massa, Lampung Post “Ruang Opini”, Jum’at, 24 Oktober 2003, halaman 07
15. “Karakter Pemimpin Ideal” Artikel yang dipublikasikan Dalam Koran/harian Media Massa, Lampung Post “Ruang Opini”, Jum’at, 28 November 2003, halaman 07)
16. “ajaran Islam Tentang Makna Idulfitri”, yang dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan Kebudayaan Islam Al-‘Adalah No. 6 Edisi Sept-Des 2004
Selain mengadakan penelitian dan menyusun buku, serta menulis dalam jurnal ilmiah, saya juga sering mengikuti aktivitas ilmiah lain seperti: Seminar, Work Shop (pelatihan), mulai dari level Program Studi, Jurusan, lokal, regional, nasional dan Internasional yang antara lain:
1. Peserta Seminar Nasional ”Syirkah ’Inan Sebagai Badan Usaha Ekonomi Fakir Miskin Penerima Zakat, dalam Perspektif ke-Indonesiaan” (di Bandar lampung, 18-19 Januari 1993)
2. Pendidikan dan Pelatihan Kader Fungsional ”Pers dan Media Massa” Golongan Karya Tingkat I Lampung, di Gedung Golkar, 22 – 23 Juli 1995
3. Peserta “Semiloka Peduli Syari’ah”, Mencari titik Temu Lembaga-lembaga Syari’ah di Indonesia, yang diselenggarakan di IAIN Jakarta, (26-27 Juni 2001)
4. Pelatih ”Training Of Trainers (TOT) Seni Baca Al-Qur’an (31 Agustus-13 September 2004)
5. Peserta “Lokakarya Nasional/ Diskusi Panel Pengembangan Master Plan IAIN Raden Intan Menuju UIN 2004/2005-2014/2015” ,15 Septembr 2004
6. Peserta “Seminar Nasional dan Lokakarya Pengembangan Master Plan IAIN Raden Intan Bandar Lampung Menuju UIN” , 29 Septembr 2004
7. Peserta ”Seminar dan Lokakarya Pendirian Lembaga Pendidikan dan Bantuan Hukum Fak.Syari’ah IAIN Raden Intan, 30 Desember 2004
8. Peserta “Lokakarya dan Simposium Nasional Kurikulum Fakultas Syari’ah” (05-06 Desember 2005)
9. Peserta Seminar “International Conference on Social Develoment” diselenggarakan di Balai Keratun Gubernuran Lampung, 22 Juli 2006
10. Peserta Seminar Nasional “Prospek dan Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia” diselenggarakan di Gedung Wanita Metro,19 Septemb 2006
11. Peserta Seminar Nasional “Penentuan Awal Bulan Qamariyah Antara Hisab dan Rukyat” , 04 Desember 2006
12. Peserta ”Pelatihan Pelatih Tenis Meja Se-Kota Bandar Lampung” (30 Juni - 01 Juli 2007)
13. Peserta Seminar International “Challenges and Opportunities For IAIN Raden Intan Bandar Lampung in Global Era” diselenggarakan di Hotel Marcopolo, 26 Nopembr 2007
Keikutsertaan dalam penyelenggaraan kegiatan ilmiah, antara lain:
1. Anggota Pengarah, Seminar Sehari ”Islam dan Etika Berpolitik”, 29 Februari 1999
2. Wakil Ketua “Seminar Nasional Zakat dan Pajak dalam Perspektif Hukum Islam”, 05 Mei 1999
3. Ketua Pelaksana ”Tim Pelaksana Pelatihan Seni Baca Al-Qur’an”, 28 Agustus 2004
4. Sekretaris Tim Pelaksana “Konsorsium Ilmu Kesyari’ahan IAIN Raden Intan”,16 April 2007
Melalui kegiatan dan keikutsertaan dalam penelitian, seminar dan pelatihan ilmiah tersebut di atas, diharapkan dapat memperluas wawasan dan sekaligus mempertajam analisa keilmuan yang saya geluti.
Buku dengan judul “Fiqh Ibadah” Jilid-I, Cet. April 2002, (ISBN: 979-3161-01-0)
tersbut juga, digunakan sebagai acuan bagi masyarakat yang tergabung dalam kelompok pengajian di masjid tempat saya berdomisili.
Saya juga sedang menulis buku ajar untuk keperluan mahasiswa, yaitu Fiqh Ibadah Jilid II sebagai kelanjutan Fiqh Ibadah Jilid I.. Mudah-mudahan buku tersebut dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
C. Peningkatan KualitasManajemen/ Pengelolaan Institusi (Perubahan Pengelolaan, Implementasi dan Dukungan Institusi)
Saya mulai mengajar di Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Bandar Lampung sebagai tenaga pengajar tidak tetap (Dosen Luar Biasa/ DLB) dari tahun 1986; kemudian diangkat sebagai Dosen Tetap dari bulan Oktober 1988. Selama bertugas sebagai dosen/ pengajar di IAIN Raden Intan, pengalaman dan kontribusi pemikiran saya dalam pengelolaan institusi antara lain sebagai berikut:
1. Pada awal bertugas di Fakultas Syari’ah dengan status sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, saya ditugaskan sebagai staf, yang bertugas membantu sie Keuangan dan Material Fakultas Syari’ah.
Perubahan yang signifikan setelah tiga bulan saya bertugas, bila sebelumnya honor Dosen/ Tenaga Pengajar, baru diterima setelah satu bulan (30 hari) berikutnya, karena terlambat pengetikan, penghitungan dan pencairan di Rektorat. Alhamdulillah dapat dipercepat dalam tenggang waktu lima sampai sepuluh hari bulan berikutnya (muncul istilah diterima sebelum keringat kering).
2. Ketua Jurusan Jinayah Siasah (JS) Fakultas Syari’ah (1998-2002). Sebagai penyelenggara Pendidikan dan Pengajaran, pengelolaan administrasi jurusan dan penyelenggaraan ujian akhir untuk mahasiswa yang akan menenmpuh ujian skripsi, ujian Komprehensip.
Pada awal bertugas, belum ditemukan buku agenda khusus yang sepesialisasi dalam bidang-bidang kegiatan jurusan, yang ada hanya arsip lembaran jadwal ujian skripsi, jadwal ujian komprehensip,. Namun alhamduliillah saya dapat menghimpun khusus buku agenda ujian-ujian tersebut, termasuk menghimpun daftar nama alumni Jurusan dari beberapa tahun sebelumnya.
Pada periode Dekan sebelumnya, insentif Kajur dan sekjur amat tidak layak yaitu Rp 100.000. potong 15 % untuk kajur dan Rp 75.000 potong 15 % untuk sekjur, Kemudian timbul insisiatif dan atas kesepakatan serta kerjasama dengan Kajur-kajur yang lain, mengusulkan kepada Rektor untuk dipertimbangkan kembali kelayakan insntif Kajur dan Sekjur. Alhamdulillah, tahun berikutnya, mendapat respon yang baik dan usulan kami dipenuhi oleh Rektor.
Ketika Tim Akreditasi turun dari Jakarta, akan menilai untuk yang pertamakalinya di IAIN (termasuk pada Jurusan JS), saya bersama Sekjur JS yang belum mengerti kriteria apasaja yang akan dinilai oleh TIM dikala itu. Karena adminstrasi yang sudah tersusun jauh sebelum kedatangan tim, data yang sudah terhimpun, karya ilmiah yang sudah terdeteksi jauh sebelumnya, bukan karena ada TIM, saya tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk menunjukan bukti (data yang ada), hasilanya alhamdulillah Akreditasi pertamakali pada Jurusan JS mendapat nilai “B”. Pimpinan fakultas mengacungkan jempol atas perolehan nilai yang menggimbirakan hati untuk yang pertama kalinya ini.
3. Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Syari’ah (2006-2007). Sebagai Pembantu Dekan III Pengganti Antar Waktu (PAW), karena pejabat sebelumnya meninggal dunia, saya terpilih oleh anggota Senat untuk meneruskannya. Tidaklah banyak kegiatan yang saya lakukan, karena waktunya amat singkat. Meskipun demikian karena banyaknya kegiatan olahraga bagi mahasisiwa antar fakultas dan antar Perguruan Tinggi, sementara di Fakultas Syari’ah tidak ditopang akan sarananya, maka saya mengaktifkan olahraga bagi Mahasiswa yang hobbi, dan mengusahakan Meja olahraga Tenis meja yang barui. Alhamduilillah mendapat restu dari Dekan sehingga Meja Tenis Meja yang baru terujud berikut perangkatnya, dan mengusahakan sarana olahraga Catur. Sedangkan lapangan dan sarana Volly Ball belum terealisasi pada saat itu.
Karena kegiatan ilmiah mahasiswa yang hampir fakum, maka saya menginstrusksikan program bedah buku untuk merealisasikan dana mahasiswa yang hampir tiap tahun terdapat sisa yang tidak terpakai lantaran tidak ada kegiatan. Alhamdulillah Mahasiswa dari 3 Jurusan yang berbeda dapat melakukan kegiatan bedah buku ilmiah dengan mendatangkan Nara sumber dari unsur Dosen dikalangan sendiri dan dari Universitas Lampung; dan bersama mahasiswa menggalakkan ceramah dan diskusi ilmiah dalam mengisi aktivitas menjelang berbuka Romadhon dan taraweh bersama.
Untuk menopang alumni fakultas Syari’ah, saya dipercaya oleh Dekan untuk menggagas dan memprakarsai berdirinya LKBH (Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum). Setelah Proposal selesai saya buat, dan saya konsultasikan dengan LKBH yang ada di Universitas Lampung, Konsultasi dengan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) serta mengadakan kontak dengan Ketua Asosiasi Syari’ah yang berpusat di IAIN Semarang untuk melobi kesediaannya, namun periode jabatan saya berakhir, maka pekerjaan itu belum terselesaikan dengan sempurna. Namun alhamdulillah gagasan itu disahuti positif dan kini ditindak lanjuti oleh Pimpinan Fakultas periode setelahnya, sehinga berdirilah LKBH Fakultas Syari’ah sampai sekarang ini.
D. Peningkatan Kualitas Kegiatan Mahasiswa (Perubahan Pengelolaan, Implementasi Kebijakan, dan Dukungan Institusi)
Dalam meningkatkan kegiatan mahsiswa, usaha-usaha yang pernah dan selalu saya lakukan antara lain sebagai berikut:
1. Sebagai Dosen Pembimbing Akademik (PA)
Setiap tahun ajaran, saya mengumpulkan mahasiswa semester awal di bawah bimbingan saya dengan mengambil tempat di ruangan kerja saya, terkadang di ruangan kelas, atau ruangan rapat, untuk memebritahukan bahwa saya sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang bertugas, berkewajiban dan berkedudukan sebagai orang tua mahasiswa di kampus. Sehingga setiap mahasiswa dapat berkonsultasi kepada saya sebagai Dosen PA, kapan saja dan dimana saja, secara langsung atau via handphon (HP) untuk menyampaikan berbagai masalah yang tidak dapat dipecahkan sendiri, baik yang berkenaan dengan mata kuliah, masalah judul skripsi, maupun masalah pribadi, sehingga dapat memperlancar timing dan planing perkuliahan.
2. Sebagai Dosen Pengasuh Mata Kuliah
Pada awal perkuliahan, terlebih dahulu saya mengenalkan diri dan mengadakan kontrak pembelajaran dengan mahasiswa secara bersama-sama, literatur yang perlu dibaca, deskripsi mata kuliah dan Satuan Acara Perkuliahan (SAP), kegiatan tatap muka, tugas dan keriteria hasil penilaian. Pada kuliah selanjutnya materi yang saya ajarkan selalu saya berikan contoh yang aktual dalam kehidupan masyarakat.
Strategi yang saya gunakan terkadang: - Critical insident (Pengalaman Penting), - Question Students Have (Pertanyaan Mahasiswa), - Active Debate (Debat aktiv), - Modeling the Way (Memberi Contoh Demonstrasi), - Lightening the learning (Menghidupkan Suasana Belajar), - Bermain jawaban. Setelah akhir perkuliahan, saya meminta mahasiswa untuk menilai saya, terkadang secara lisan dan terkadang membagikan angket untuk menilai saya baik dalam penampilan, maupun dalam kegiatan mengajar serta memberi saran dan masukan, sehingga diharapkan perkuliahan yang akan datang dapat lebih baik lagi.
3. Sebagai Dosen Praktik Pengamalan Ibadah (PPI)
Dalam menjalankan Praktik Pengamalan Ibadah, Mahasiswa dituntun praktik sholat janazah dan Pembuatan Kain Kafan (untuk orang meninggal); mahasiswa langsung praktik dengan menggunakan peralatan gunting dan kain secukupnya, serta boneka. Setelah selesai praktik, mahasiswa diuji keberaniannya, siapa yang berani membuat kain kafan yang apabila ada orang meninggal lalu membutuhkan kita. Bila ada yang berani, akan saya panggil untuk datang. Dari sekian mahasiswa itu ada yang berani mengangkat tangan siap untuk dipanggil apabila ada yang membutuhkan untuk membuat kain kafan bila terjadi ada yang meninggal.
4. Sebagai Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) dan KKN
Program Praktik Peradilan Semu yang diselenggarakan oleh Laboratorium Hukum Islam (LHI) bekerjasama dengan Pengadilan Agama (PA) Tanjungkarng. Dalam praktiknya mahasiswa dituntun praktik beracara, yang pada mulanya mahasiswa diwajibkan mengikuti teori, lalu mengahadiri sidang di PA selama 5 x sidang, setelah itu praktik di lokal khusus, sebagaimana yang telah dilihat, lalu diterapkan, ada yang bertindak sebagai Hakim, Panitera, Penggugat dan Tergugat dibawah bimbingan Hakim PA dan Dosen Pembimbing Lapangan.. Tugas saya mengontrol, mengarahkan pembuatan laporan dan menilai hasil keraja dan laporannya.
Sebagai Dosen Pembimbing KKN
Bagi Mahasiswa, KKN adalah salahsatu kegiatan yang harus ditempuh oleh mahasiswa semester V dan VII agar KKN berjalan efektif, selama kegiatan KKN mahasiswa dipandu oleh Dosen Pembimbing Lapangan KKN. Kegiatan saya sebagai DPL-KKN, dimulai dari mengarahkan dari kampus, membimbing, mengarahkan dan mengontrol kegiatan mahasiswa di lapangan, pulang ke kampus dan membimbing pembuatan laporan, serta menilai hasil kerja mahasiswa KKN.
5. Sebagai Dosen Pembimbing Skripsi
Tugas akhir mahasiswa adalah membuat karya ilmiah/ skripsi dan ujian skripsi. Selama penyusunan skripsi, mahasiswa dibantu oleh Dosen Pembimbing. Selaku pembimbing, saya mengarahkan mahasiswa dari menyusun proposal skripsi, seminar proposal, perbaikan hasil seminar, ke lapangan, seminar hasil penelitian, dan diakhiri dengan ujian skripsi. Dalam mengoreksi skripsi, saya tidak ingin berlama-lama, ada yang dikoreksi saat itu juga, dan ada yang dikoreksi dengan limit 2 hari. Semua kegiatan sehubungan dengan skripsi, saya harus sabar, teliti, dan serius. Jika tidak demikian hasilnya tidak memuaskan. Alhamdulillah semuanya dapat saya laksanakan dengan baik dan mahasiswanya juga merasa puas dengan hasil kerjanya..
E. Peningkatan Pengabdian Kepada Masyarakat (Kegiatan dan Implementasi Perubahan serta Dukungan Masyarakat )
Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat yang telah saya laksanakan antara lain:sebagai berikut:
1. Memeberikan Khutabah Juma’at pada Masjid Baitul Muslimin, Masjid Al-Muhajirin, Masjid Al-Rahman dan Masjid Hafshatul Iman, sebagaimana telah dijadwalkan.
Dalam memberikan Khutbah, saya menyampaikan selain pesan agama, juga diramu dengan fenomena yang terjadi di Bumi Indonesia ini. Sampai saat ini saya masih tetap dijadwal untuk menjadi khatib di berbagai masjid.
2. Selain Sebagai Imam Tetap di Masjid Al-Muhajirin, juga sering memberikan pengajian Bapak-bapak, Ceramah menjelang taraweh (yang terjadwal) disetiap bulan ramadhon pada keempat masjdi diatas, kecuali itu pada masjid lain yang bersifat insidental. Setelah selesai taraweh hampir ada petanyaaan dari masyarakat tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan bidang agama.
3. Menjadi Pengurus Rukun Kematian, dalam pelaksanaannya apabila terdapat kematian khususnya bagi kaum laki-laki, saya sering dipercaya oleh masyarakat dan ahli waris yang ditinggalkan, untuk memimpin shalat janazah dan membuatkan Kain Kafan bagi keluarga yang meninggal, bahkan memimpin acara di kuburan/ pemakaman.
4. Bersama teman-teman sebagai pengurus Baitul Mal wa Tamwil (BMT) al-Muhajirin. Dalam pelaksanaannya, saya sebagai Dewan Pertimbangan Kesyari’ahan. Alhamdulillah BMT tersebut semakin mengalami kemajuan dan dapat membantu pedagang kecil dan atau orang yang sedang membutuhkan pinjaman dana. Dengan didirikanna BMT ini, masyarakat sekitar meyahutinya dengan senang hati tanpa ada paksaan.
5. Mengadakan Qurban bersama Tabungan Qurban), dalam pelaksanaannya setiap 7 orang dikelompokan menjadi satu untuk menggotong pembelian hewan sapi. Aplikasinya hampir setiap hari raya Qurban, Masjid Al-Muhajirin tidak sepi dari pemotongan hewan qurban untuk dibagikan kepada fuqara wal masakin yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal saya. Masyarakat amat mendukung dengan program ini, dan fakir miskin mnyambut gembira atas pelaksanaannya..
6. Mengadakan sarana olahraga Tenis Meja, dalam pelaksanaanya, setiap sore masyarakat yang gemar bermain tenis meja sambil berolahraga, datang dan kumpul bermain. Hal ini dirasakan bagi yang hobi untuk meningkatkan daya kesehatan, selain itu juga berjiwa spotifitas dalam berolahraga.
BAGIAN II
F. Faktor Pribadi dalam Berbagai Situasi dan Kondisi (Kendali diri, Kesabaran, Ekspresi Perasaan dan Rasionalitas)
Sebagai seorang pendidik (dosen), saya senantiasa sadar dan selalu berusaha agar dapat mengendalikan diri, baik di kampus dengan mahasiswa, teman sejawat, atasan, maupun dalam pergaulan sehari-hari ditengah masyarakat umumnya.; demikian juga dalam forum-forum ilmiah, seminar, diskusi, pnengendalian diri menjadi keberhasil setiap individu, terlebih lagi saya menyadari, bila saya sebagai tenaga pengajar di sebuah lembaga perguruan Tinggai Agama Islam Negeri.
Berkenaan dengan kesabaran, saya menyadari, bila saya merupakan seorang kurang penyabar, akan tetapi sebagai seorang pendidik (dosen) saya juga menyadari harus bersikap tegas, baik dalam mengahadapi mahasiswa, teman sejawat, dalam lingkungan rumah dan tetangga. Kendali diri dan sabar sudah menjadi komitmen hidup saya, saya bersemboyan: “Menjadi seorang pemarah itu gampang, tapi menahan kemarahan tidaklah mudah”.
Dalam kehidupan betetangga, ketika terjadi keributan di rumah tetangga (suami isteri) yang tidak jauh dari tempat tinggal saya, yang mengakibatkan sang isteri kabur dan tidak mau pulang, lebih baik cerai daripada kembali. Saya diminta untuk berupaya mendamaikan, menasehati dan membujuk untuk rukun kembali. Alhamdulillah upaya saya berhasil, sehingga kelauarga dekat mereka juga berterimakasih atas upaya yang telah saya laukukan.
G.. Etos Kerja (Semangat, Target Kerja, Disiplin dan Ketangguhan)
Menjadi guru atau dosen adalah merupakan pilihan dan cita-cita saya sejak kecil, sejak Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi saya selalu memperhatikan ragam variatif yang dilakoni oleh masing-masing guru/dosen, ada yang santai, disiplin, ramah, kejam, menyenangkan dan menakutkan. Ada yang tampak menguasai materi dan ada yang tidak. Melihat keragaman sifat dan pola itu saya mengambil contoh: yang palig disenangi oleh kebanyakan murid/ mahasiswa. .
Ketika saya kuliah di tingkat Doktoral I (tingkat IV tahun 1984), selesai Sarjana Muda, saya ditawari oleh seorang dosen senior yang ada di Fakultas Syari’ahuntuk menjadi asisten beliau untuk mengajar mata kuliah Pengantar Ilmu Tafsir, tanpa pikir panjang saya sahuti dan saya terima tawaran itu, perasaan saya ketika itu, ibarat mendapatkan bintang terang dan bulan purnama.
Selama 6 bulan (satu semester) saya mengajar, dengan penuh kesungguhan dan disiplin yang tinggi alhamdulillah saya mampu menurut ukuran saya. Setelah berjalan 1 tahun (ketika saya kuliah tingkat Doktoral II/ Tingkat V), saya juga mendapat tawaran dari dosen senior yang lain juga dalam mata kuliah Fiqh Ibadah. Alhamdulillah dengan berkat kejujuran, kesabaran, kesungguhan dan kedisiplinan, beberapa bulan sejak ujian akhir Sarjana/ sekarang S1 bulan April 1986 saya diarahkan oleh beberapa dosen senior untuk mendaftarkan diri menjadi Calon Dosen tetap di Fakultas Syari’ah., pada bulan Oktober 1986 saya mengikuti tes dan dinyatakan diterima menjadi CPNS terhitung bulan April 1987. Pada bulan Mei 1987 saya dipanggil untuk bekerja pada Fakutas Syari’ah. Kurang lebih 3 bulan saya bekerja, atas kepercayaan Fakultas saya diserahi tugas mengelola tugas Kasi Keuangan dan Matrial, lanataran Kasi Keuangan dan Matrial (Keumat) ketika itu masuk usia pensiun.
Tugas-tugas ini saya anggap amanah, dan saya berusaha melaksanakan dengan senang hati, semangat, dan tepat waktu. Pekerjaan yang dapat saya selesaikan hari ini, saya usahakan selesai hari itu juga dengan baik, bahkan saya bawa pulang (lembur di rumah) sehingga keesokan harinya pekerjaan sudah terselesaikan semua.
Dalam menjalankan tugas saya memiliki target yang dilandasi disiplin yang tinggi, Contohnya: - Tatap muka di kelas dengan mahasiswa, saya selalu memenuhi target maximum tatap muka.; - Koreksi ujian smester, saya selalu menyerahkan tepat waktu (tidak lebih dari 7 hari) setelah pelaksanaan ujian; - Dikala menjalani studi S2 di Unila, saya tidak mendapatkan baiaya bantuan studi selama 2 smester pertama, sebagaimana teman-teman yang lain, namun menurut saya, hal itu bukan merupakan kendala yang pokok, prinsip hidup saya, “Allah akan memeberikan rizki bukan hanya dengan satu jalan”
.
H. Integritas Diri (kejujuran, Keteguhan pada Prinsip, Konsisten, Tanggung jawab, dan Keteladanan..
Kejujuran saat ini sangat mahal, orang jujur sudah langka, tetapi masih ada orang jujur saat ini dikatakan bodoh alias tidak normal. Akan tetapi saya senang pada orang jujur.
Saya merasa diri saya sebagai orang yang jujur, karena saya merasa tidak memanfaatkan harta benda baik milik pribadi maupun milik negara yang saya selewengkan. Perinsip hidup yang saya pegang adalah: biarlah saya tidak punya, daripada menyimpangkan dan menyelewengkan hak dan kepunyaan orang lain.
Saya menduga, bahwa amanah dan jabatan yang pernah saya emban selama ini diperoleh karena sifat jujur, teguh pada pendirian, dan rasa tanggungjawab pada tugas. Selama saya dipercaya menduduki jabatan, saya belum pernah menyia-nyiakannya. Demikian juga terhadap anak dan isteri, keterbukaan terhadapsesuatu hal selalu diutamakan dengan cara musyawarah mufakat.
Saya selalu menjaga sikap, tingkah laku dan/atau etika terhadap sesama mahasiswa, sesama teman sejawat, sesama atasan, demikian juga terhadap rumah tangga dan terhadap lingkungan sekitar tempat tinggal. Saya akan mengatakan “Ya” kalau memang hal itu benar, dan saya akan mengatakan “Tidak” kalau hal itu memang salah.
I. Keterbukaan Terhadap Kritik, Saran, dan Pendapat orang Lain (Penyikapan dan Penerimaan)
Selama saya menjadi dosen dan pejabat, baik di dalam kampus, di luar kampus, maupun di tengah masyarakat, saya tidak alergi dengan keritik/ saran dan atau pendapat dari orang lain. Keritik dari teman sejawat, atasan langsung, mahasiswa, dan bahkan dari sanak keluarga, ahli famili maupun masyarakat selalu saya terima, saya renungkan, dianalisa, mana yang baik yang bersifat konstruktif, saya ucapkan terimaskih dan saya laksanakan. Saya berperinsip wajar-wajar saja, dan itulah kritik dan saran yang terbaik menuju perubahan yang lebih baik lagi. Memang pepatah mengatakan: “Gajah di pelupuk mata tak tampak, sementara Tungau diseberang lautan akan tampak”
J. Peran Sosial (Kemampuan Kerjasama dan Kemampuan Komunikasi)
Menurut hemat saya, bekerjasama dan berkomunikasi dengan siapa saja di kampus, di kantor, di lingkungan tetangga dan masyarakat sangat baik. Tanpa kerjasama dan komunikasi yang baik dengan sesama tiada berarti hidup ini. Sebagai Bukti Kerjasama dan Komunikasi ini seperti: Ketika saya dipercaya oleh Pimpinan Fakultas untuk menggagas pendirian Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum, saya berkonsultasi dengan LKBH Universitas Lampung, saya tukar pikiran dengan Ketua Asosiasi Advokat Indonesia Provinsi Lampung, dan minta pertimbangan dan Konsultasi dengan Ketua Asosiasi Syari’ah di IAIN Semarang. Contoh lain: Saya dipercaya untuk menjadi Wakil Ketua Seminar Nasional Zakat dan Pajak dalam Perspektif Hukum Islam (Mei 1999), dipercaya menjadi anggota Senat Fakultas (2004-2008), Personalia Laboratorium Hukum Islam (2004-2008), dipercaya menjadi Wakil Ketua Komite Sekolah SMPNegeri (2006-2009) menjadi .Biro Perdata Agama pada Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (2008-2012)
Di Lingkungan tetangga, saya masih dipercaya untuk menjadi Penasehat Pengurus Masjid, Pengurus Rukun Kematian, Pengurus BMT. Di Bandar Lampung saya dipercaya sebagai Pengurus Kota Tenis Meja Kota Bandar Lampung. Di tingkat Provinsi, saya masih dipercaya untuk menjadi Ketua bidang Pendidikan dan Agama Kosgoro Provinsi Lampung.
K. Orisinalitas (Kreativitas dan Inovasi)
Profesi saya adalah guru atau dosen, yang tugas utamanya adalah melaksanakan pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
Kreativitas dan inovasi diperoleh dari rutinitas tugas akademis belajar mengajar di kelas, dalam mengajar, dalam penelitian, selama ujian-ujian muncul inovasi belajar mengajar yang efektif.
Contoh:
- Ketika mahasiswa kesulitan mencari buku yang langka dijual di pasaran, saya mencoba menulis buku ajar, agar mahasiswa merasa terbantu refrensinya;
- Ketika melihat mayat, membaca harian media massa bahwa ditemukan mayat anonim di halaman pertokoan, lalu 2 hari bermalam di ruang unit janazah di Rumah Sakit karena tidak memiliki sanak keluarga, muncul pemikiran saya untuk meneliti tentang: “Problematika Pengurusan Janazah tanpa Identitas” (Studi di RSU Abdul Moeloek Provinsi lampung) Penelitian tahun 2001, (ISBN: 979-3161-01-9)
- Ketika maraknya Panti Pijat di Bandar Lampung, muncul pemikiran untuk meneliti tentang: “Klinik Tradisional Dalam Upaya Menghimpun Tenaga Kerja Wanita, Studi Kasus Pada Panti Pijat di Kecamatan Teluk Betung Selatan” (Penelitian Individu), Tahun 1999.
Deskripsi ini saya buat dengan sesungguhnya dari lubuk hati yang dalam, dan saya bertanggungjawab penuh atas kebenarannya, dan apabila diperlukan saya bersedia menyampaikan bukti-bukti terkait.
Mengetahui:
Atasan langsung
Ketua Jurusan Mu’amalah
Drs. H. Irwantoni, M.Hum
NIP. 150246830
Bandar Lampung, 15 April 2009
Dosen Bersangkutan,
Drs. Khoirul Abror, M.H
NIP. 150231379
perkosaan Incest
DERITA KORBAN PERKOSAAN SEDARAH (INCEST)
Oleh: Khoirul Abror[1]
A. Pendahuluan
Kejahatan merupakan gejala sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu sampai sekarang; Perkembangan kejahatan yang terjadi melalui informasi berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik, atau apabila kita membaca statistik kriminal dapat ditemukan adanya peningkatan angka kejahatan dalam masyarakat; Peningkatan angka kejahatan ini tidak hanya terjadi pada peningkatan jumlah atau kuantitas kejahatan, melainkan juga terjadi peningkatan pada modus operandi atau teknik dan taktik dalam melakukan kejahatan.
Pemberitaan yang marak tentang terjadinya kejahatan dan catatan-catatan pada statistik kriminal, belum mampu menyampaikan semua jenis kejahatan yang terjadi; Artinya, masih banyak kejahatan yang terjadi yang tidak dilaporkan atau tidak berhasil dideteksi oleh media massa, yang menjadi angka gelap kejahatan (dark number of crime) sehingga kejahatan yang diketahui belum menunjukkan angka yang sesungguhnya.
Selain kejahatan yang non konvensional, dalam perkembangan kehidupan sehari-hari terjadi juga kejahatan konvensional, misalnya kejahatan terhadap harta kekayaan (pencurian, penggelapan, pemerasan, penipuan dan lain-lain), kejahatan terhadap tubuh dan nyawa, misalnya pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain serta berbagai jenis kejahatan dibidang kesusilaan.
Terjadinya berbagai jenis kejahatan di tengah masyarakat mengindikasikan, bahwa korban demi korban terus berjatuhan dengan kerugian dan penderitan yang sangat besar; Kerugian yang timbul sebagai akibat kejahatan, dapat terjadi dalam berbagai bentuk; Sahetapy mengemukakan kerugian-kerugian akibat suatu kejahatan sebagai berikut:
… Kerugian yang diderita oleh korban kejahatan bukan hanya dalam bentuk fisik seperti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menyembuhkan luka fisik, tetapi juga kerugian nonfisik yang susah bahkan tidak dapat dinilai dengan uang. Hilangnya keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup, dan kepercayaan diri karena kecemasan dan ketakutan dari bayang-bayang kejahatan yang selalu terbayang menghantui, adalah salah satu dari sekian banyak kerugian nonfisik yang bisa timbul[2]
Menurut Reksodiputro, penderita dan kerugian korban kejahatan dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: “(a) kerugian yang bersifat materiel (dapat diperhitungkan dengan uang) dan (b) kerugian yang bersifat immateriel misalnya perasaan takut, sedih, kejutan psikis dan lain-lain.[3] Bentuk-bentuk kerugian dan penderitaan korban ini dikemukakan juga oleh Muladi dan Arief sebagai berikut:
…Ternyata esensi kerugian…tidak hanya bersifat materiel atau penderitaan fisik saja, melainkan juga bersifat psikologis; Hal ini dalam bentuk trauma, kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat dan ketertiban umum; Sintom dan Sindrom tersebut dapat berupa kegelisahan, rasa curiga, sinisme, depresi, kesepian dan berbagai perilaku penghindaran yang lain.[4]
Mencermati ketiga pendapat yang dikemukakan tersebut, dapat diperoleh gambaran betapa besar penderitaan yang dialami seseorang atau kelompok orang yang menjadi korban kekerasan seksual karena selain penderitaan fisik, mereka juga mengalami penderitaan psikis yang sangat berat
Secara umum terjadinya kejahatan sangat merugikan masyarakat, khususnya korban kejahatan; salah satu jenis kejahatan yang terjadi yang sangat merugikan dan meresahkan masyarakat, ialah: tindak pidana perkosaan, lebih teragis lagi bila perkosaan itu dilakukan dikalangan keluarga sendiri (sebut saja: kekerasan seksual/ perkosaan sedarah/ Incest).
Incest adalah hubungan seksual antara dua orang saudara kandung atau yang masih terkait hubungan darah;[5] Sementara Barda Nawawi, mengemukakan bahwa: incest adalah persetubuhan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau samping sampai derajat ketiga;[6] Sedangkan Margaret Mead yang dikutip majallah Intisari (1992: 60) memaparkan incest “sebagai pelanggaran atas perbuatan seksual yang terlarang antara dua anggota keluarga inti, kecuali hubungan seksual suami isteri” seperti: hubungan seksual yang dilakukan antara Bapak dan anak, sesama saudara kandung, atau juga yang dilakukan oleh ibu dengan anaknya. Dampaknya dapat ditebak, bagaimana traumatisnya baik terhadap si pelaku maupun si korban, sehingga pelaku incest cenderung memilih bungkam daripada aibnya diketahui oleh public
Singgih Wijaya sebagaimana dikutip Inti Sari (1992:167) menegaskan bahwa tindakan incest dapat dibedakan kepada beberapa kategori:
1. Praktek Pedophilic Incest; yaitu dilakukan seorang ayah yang tidak matang sikoseksualnya atau mengalami kesulitan seksual; Untuk memenuhi fungsi seksualnya ia berhubungan dengan anak gadisnya;
2. Psycopathic incest adalah perilaku incest yang dilakukan seorang penderita sakit jiwa (psycopat) yang menganggap kebanyakan orang, termasuk anaknya sendiri sebagai objek seksual. Karenanya, pelaku incest semacam ini hampir tidak pernah menunjukan rasa bersalah atas perbuatannya, bahkan cenderung nekat, tak segan melakukan perkosaan terhadap orang lain yang bukan penghuni rumahnya; Seperti sepupuan atau terdapat hubungan saudara lainnya;
3. Family generated incest; seorang ayah yang fasif sementara sang isteri terganggu keperibadiannya; akibatnya, kehidupan perkawinan bagi mereka hambar dan anak-anak menjadi sasaran seksual; Si anak dijadikan semacam gundik ayahnya sendiri.
Tindakan incest bukanlah masalah perempuan semata, tapi problema yang harus dihadapi oleh seluruh masyarakat; Sedangkan dampak terjadinya incest ini terhadap si korban, selain memojokan kedudukan korban, juga si-korban menjadi rendah diri, pemalu, traumatis, bahkan beban penderitaan korban tidak akan sirna untuk selamanya, sehingga tidak menutup kemungkinan beban yang tidak dapat dipikul itu menyebabkan korban bunuh diri atau gila.[7]
Media Massa yang terbit di Lampung melalui pemberitaannya untuk kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, sangat membantu mengungkap kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Lampung, termasuk tindak pidana perkosaan sedarah didalamnya; Percaya atau tidak, kenyataan dan fakta membuktikan bahwa incest dapat terjadi dibelahan negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan mayoritas beragama.
Contoh Kasus: Di Lampung Umpamanya, Lampung Post 17 Mei 2005 menyajikan berita, (Ap 16 tahun) yang tinggal di Kabupaten Tanggamus mengaku empat kali diperkosa oleh Muk alias Black, umur 43 tahun dan telah mempunyai empat anak, yang menjabat sebagai sekdes sekaligus paman korban. Akibatnya Ap yang masih duduk dibangku kelas 3 SMP ini hamil 04 bulan, sementara Muk tidak mau bertanggung jawab[8]
Lampung Post memberitakan: seorang Bapak dari 7 anak berinisial Sug (43 th) memerkosa anak kandung sendiri Ina (17 th) yang waktu kejadian masih duduk di kelas 3 MTs lantaran naksir melihat kemontokan anaknya sndiri; Ironisnya pemerkosaan itu dilakukan selain di tempat tidurnya sendiri, juga dilakukan di tengah kebon dan diterlentangkan di atas tumpakan ilalang kering[9]
Radar Lampung 28 Nopember 2001 mengangkat berita tentang seorang anak TK berumur 12 tahun yang sekaligus anak angkatnya diperkosa oleh ayah angkatnya berinisial Ch umur 48 tahun.
Radar lampung, Sabtu 05 Maret 2005 menyajikan berita tentang ulah ayah tiri Ed (50 tahun) yang memperkosa anaknya (sebut saja Hf) selam 9 tahun lamanya, sejak Hf tersebut duduk dibangku SD, sehingga tidak terhitung lagi berapa kali Bapak meniduri Hf, imbasnya sang anak melahirkan anak laki-laki[10]
Pada beberapa kasus perkosaan yang dikemukakan di atas terdapat indikasi bahwa: kadang-kadang perkosaan dilakukan secara sadis dan tidak berprikemanusiaan. Mereka melakukan ancaman, perkosaan dan lainnya; Kerugian yang diderita korban berupa fisik atau matriel sebagaimana dialami korban kejahatan umumnya, dan nonfisik yaitu hilangnya keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup, trauma, rasa malu terhadap lingkungan karena perkosaan sangat berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.
Dampak yang sangat berat terhadap korban perkosaan ini, apabila terjadi perkosaan kadang-kadang muncul berbagai reaksi dari masyarakat; Salah satu reaksi masyarakat dapat dilihat pada apa yang dikemukakan oleh Topo Santoso, yang dikutip dari media massa saat terjadi perkosaan pada keluarga Acan di Bekasi, yang menunjukan kemarahan masyarakat misalnya: “Pemerkosa itu biadab, mereka seperti PKI, hukum mati saja, mereka harus di hukum seberat-beratnya”[11]. Selain reaksi masyarakat, Menteri Negara urusan peranan wanita pada kabinet pembangunan VI mengusulkan agar pelaku perkosaan dihukum dengan hukuman berat, ditayangkan wajahnya di Televisi dengan tujuan menimbulkan rasa malu bagi pelaku agar jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya, atau untuk mencegah pelaku potensial agar tidak melakukan perkosaan, bahkan sampai saat ini reaksi terhadap perkosaan masih terus diserukan oleh masyarakat.
Perkosaan seringkali mendapat reaksi keras dari masyarakat, namun tindak pidana ini semakin terjadi, jika peristiwa ini terjadi pada seorang gadis, remaja atau anak-anak, terlebih lagi bila terjadi terhadap keluarga sedarah (incest); seolah-olah peristiwa ini menghancurkan masa depan korban, karena pada umumnya masyarakat Indonesia masih mengagungkan nilai kegadisan, hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya dan agama; Dari segi agama perkawinan dianggap sesuatu yang suci, sehingga korban perkosaan dianggap telah ternoda sebelum memasuki perkawina suci. Lebih dari itu, jangankan melakukan perkosaan, bahkan zina (suka sama suka pun) dilarang dalam agama (Islam)[12]
B. Permasalahan
Korban kejahatan merupakan fenomena yang sangat menarik untuk dibahas, selama ini para ahli hukum pidana lebih banyak membahas kejahatan dalam kaitannya dengan pelaku, sedangkan korban kejahatan kurang mendapat perhatian, mereka seolah-olah dilupakan, padahal korban kejahatan termasuk korban perkosaan merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari pelaku kejahatan, karena dalam kasus perkosaan pasti ada korban yang sangat menderita baik fisik maupun psikis. Dalam penyelesaian tindak pidana (perkosaan) yang terjadi, korbanpun mempunyai peran yang sangat penting, yaitu dihadirkan sebagai saksi, tanpa peran korban kejahatan, peristiwa itu mungkin tidak bisa diperoses karena minimnya alat bukti, namun kadang-kadang dalam peroses peradilan, korban sering mangalami kekecewaan.
Berbicara mengenai hukum positif terutama hukum acara pidana, telah diatur berbagai macam ketentuan yang memberikan perlindungan bagi tindak pidana, yaitu diatur tentang hak-hak tersangka dan terdakwa, hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan, bahkan berhak untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma dari negara. Jika tersangka atau terdakwa mendapat perlakuan hukum yang bertentangan dengan hak-haknya, mereka dapat menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi nama baiknya melalui gugatan praperadilan, sedangkan korban yang sangat menderita baik fisik maupun psikis, masih merupakan persoalan yang kurang mendapat perhatian.
Bertolak dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahannya, yaitu:
Faktor apasajakah yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual Incest?; dan Apa sajakah dampaknya bagi korban perkosaan sedarah (Incest)? serta Bagaimana Teori Hukum Islam terhadap perkosaan Incest ini?
C. Teori Korban Perkosaan
Teori merupakan salah satu bagian yang memegang peranan penting dalam suatu penulisan ilmiah, karena teori yang digunakan dalam penulisan, dapat dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan dan menganalisis permasalahan yang diteliti secara sistematis; Permasalahan dalam tulisan ini berkaitan dengan perlindungan hukum bagi korban, khususnya korban perkosaaan sedarah, penyebab terjadinya kekerasan seksual incest dan dampaknya terhadap korban serta bagaimana bila dilihat dari kacamata agama (Islam).
Kaitan dengan perlindungan hukum bagi korban perkosaan sedarah, sebagai pisau analisis untuk membahas permasalahan dalam penulisan karya ilmiah ini, dapat dikemukakan beberapa teori:
1. Teori kontrol sosial
Muladi mengemukakan mengenai teori kontrol sebagai dasar perlindungan bagi warga negara:
Untuk mengedepankan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, …negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi; Maka dari itu bilamana terjadi kejahatan dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban …[13]
Makna dari kontrol sosial ini, bahwa negara harus melindungi dan memberikan rasa kedamaian dan kesejahteraan bagi warga negara; Perlindungan hukum bagi warga negara telah memiliki dasar konstitusional dalam hukum dasar, yaitu Undang-undang Dasar 1945; Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alenia ke IV ditegaskan bahwa “… Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia”; Tekad untuk melindungi warga negara ini diimplementasikan pada pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar 1945; Dalam Pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.[14] Lebih dari itu, perlindungan korban termasuk salah satu masalah yang juga mendapat perhatian dunia Internasional, yang menjadi Resolusi Majlis Umum PBB No.40/ 43 dalam Kongres VII PBB Tahun 1985 tanggal 29 November 1985 di Milan.[15]
Perlindungan hukum terhadap warga negara ini, dijabarkan dalam berbagai ketentuan hukum, yang diharapkan dapat diimplementasikan untuk melindungi masyarakat pencari keadilan dalam peroses peradilan pidana
Khusus dalam proses peradilan pidana, perlindungan hukum terhadap warga negara diwujudkan dalam ketentuan-ketentuan yang menyediakan sanksi pidana bagi pelaku pelanggaran hukum pidana, yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Walaupun penerapan sanksi ini sebagai salah satu wujud perlindungan hukum bagi masyarakat, namun pelaku kejahatan itu dalam proses peradilan perlu mendapat perlindungan hukum juga. Dengan demikian perlindungan hukum dalam proses peradilan pidana, ditujukan pada pelaku kejahatan, agar ia mendapat proses hukum yang adil, demikian pula korban kejahatan perlu mendapat perhatian dan perlindungan hukum karena terjadinya suatu kejahatan, menimbulkan dampak yang sangat merugikan masyarakat yang menjadi korban.
Kaitannya dengan perlindungan hukum bagi korban kejahatan, menurut Muladi dan Arief bahwa pelindungan hukum bagi korban kejahatan itu, dapat dijelaskan melalui dua argumen, yaitu pertama argumen kontrak sosial (Social contract argument) dan kedua argumen solidaritas (social solidarity argument), yang lengkapnya dapat dikutip sebagai berikut:
Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi; Maka dari itu bilamana terjadi kejahatan dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut
Argumen yang kedua menyatakan bahwa negara harus menjaga warga negaranya dalam hal memenuhi kebutuhannya atau apabila warga negaranya mengalami kesukaran, melalui kerjasama dalam masyarakat, berdasar atau menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara; Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak.[16]
Berbicara mengenai perlindungan hukum bagi korban kejahatan, khususnya korban perkosaan, maka dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat satu pasal yang secara khusus mengatur tentang perkosaan, yaitu Pasal 285 KUHP. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa: “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, di-hukum karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun”.[17] R.Soesilo, mengomentari pasal ini, memberikan kesan melindungi kepentingan perempuan atas tindakan perkosaan dari seorang laki-laki; artinya, laki-laki akan mendapat hukuman, bila melakukan perkosaaan terhadap seorang perempuan (yang bukan isterinya). Kesan ini diperoleh dari kata-kata “seorang perempuan yang dipaksa, sehingga tidak dapat melawan lagi dan terpaksa melakukan persetubuhan”
Mencermati apa yang dikemukakan di atas, maka diperoleh gambaran bahwa pasal ini dihadirkan dengan tujuan untuk melindungi perempuan dari tindakan perkosaan.
Terdapat pasal yang berkaitan dengan korban kejahatan dalam hukum pidana formil (Hukum Acara Pidana), namun pasal ini tidak menggunakan istilah korban, melainkan orang yang dirugikan dalam tindak pidana; Pasal ini mengatur perlindungan hukum secara umum terhadap orang yang dirugikan dengan adanya suatu tindak pidana, khusus korban perkosaan, tidak disinggung dalam KUHAP, tapi karena orang yang diperkosa adalah orang yang mengalami penderitaan, maka ia termasuk orang yang dirugikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dimengerti, bahwa penyidikan dan penyusunan surat dakwaan yang berkualitas sangat bermanfaat bagi korban pemidanaan, oleh hakim merupakan hal penting bagi korban juga, sebab lewat pemidanaan korban dapat menuntut kerugian yang dialaminya; Selain itu pemidanaan dapat memulihkan keseimbangan yang terganggu karena secara umum terjadinya perkosaan menimbulkan gangguan terhadap keseimbangan dalam masyarakat.
Menurut Andi Mattalata dalam Sahetapy diutarakan, kejahatan sangat merugikan korban sehingga penjatuhan pidana harus dilakukan dalam rangka memulihkan penderitaan yang dialami korban, selengkapnya pendapat Mattalata sebagai berikut:
Hakekat kejahatan seharusnya pula dilihat sebagai sesuatu yang merugikan korban, karena itu pidana yang dijatuhkan kepada pelanggar harus pula memperhatikan kepentingan dari si-korban dalam bentuk pemulihan kerugian yang dideritanya; Krugian yang harus dipulihkan tersebut tidak saja kerugian fisik, tetapi juga kerugian nonfisik. Pemulihan kerugian fisik bertujuan untuk menghilangkan trauma psikologi yang mungkin mencekam korban agar kepercayaan dirinya bisa pulih kembali sebagaimana sediakala[18]
Pemberian ganti kerugian terhadap korban perbuatan pidana bukan merupakan hal baru, dalam kehidupan hukum di Indonesia (kehidupan masyarakat tradisional) penggantian kerugian terhadap korban kejahatan sudah dilakukan pula, hal ini disimpulkan dari pendapat Soepomo sebagai berikut:
Hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum (rechts herstel) jika hukum diperkosa; Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, maka petugas hukum (kepala adat dan sebagainya) mengambil tindakan konkrit (adat reactie), guna membetulkan hukum yang dilanggar itu, umpama: pertama mengganti kerugian kepada orang yang terkena, dan kedua membayar uang adat atau korban pada persekutuan desa[19].
Kaitan ganti rugi dengan korban ini, Surachman menegaskan bahwa embrionya sudah dimulai sejak zaman Majapahit; Pada zaman ini berlaku hukum sbb:
Siapa yang berbuat salah dan kesalahannya itu menimbulkan kerugian bagi orang lain harus membayar ganti rugi. Pencuri dapat dihukum mati, tapi kalau ingin hidup si-pencuri harus menebus pembebasannya sebesar delapan ribu (delapan kati); Disamping harus membayar denda kepada raja sebesar dua puluh ribu (dua laksa) dan juga harus membayar ganti rugi (panglikawa) dua kali lipat kepada yang dicuri barangnya[20]
Tujuan pemberian ganti kerugian bagi korban dizaman tradisional dulu, sama jiwanya dengan penggantian kerugian sebagaimana yang diatur dalam hukum positif, yaitu untuk memulihkan penderitaan korban. Bila pelaku dijatuhi pidana untuk mengembalikan kerugian korban, maka ia telah melaksanakan tanggung jawabnya untuk memulihkan sebagian penderitaan yang diakibatkan, sehingga ia merasa terbebas dari jalan keliru yang telah ditempuhnya, bahkan hal ini dapat menghilangkan dendam korban.
b. Teori Penyebab Terjadinya Incest
Salah satu penyebab sumber terjadinya kejahatan (termasuk perkosaan sedarah) menurut Bonger: adalah kemiskinan dan kesengsaraan, artinya pengaruh keadaan terhadap jiwa manusia; kesengsaraan membuat fikiran menjadi tumpul, kebodohan dan ketidakberadaban. Karenanya Socrate menunjukan bahwa pendidikan yang dilaksnakan di rumah dan di sekolah memgang peranan yang sangat penting dalam membentuk keperibadian seseorang[21]
Tempat ibadah merupakan tempat yang suci yang mampu menghubungkan dan menenteramkan jiwa antara khalik dan makhluk, demikian juga tempat penggamblengan rohani marupakan sarana dan arena penerpaan jiwa yang mampu membendung dan menentramkan jiwa, oleh karena itu, minimnya pendidikan mental, kerohanian dan atau keagamaan dapat menjadi dasar penyebab terjadinya kejahatan Incest
c. Teori Tentang Korban (Victim)
Menurut deklarasi perinsip-perinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalah gunaan kekuasaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (1985) sebagaimana dikutif Arief Gosita, yang dimaksud dengan korban (victim) adalah “orang-orang yang secara pribadi atau kolektif telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau pengurangan substansial hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaraan-pembiaraan (omissions) yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan”[22].
d. Teori Hukum Islam
Hukum pidana Islam yang kerap kali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, hukum cambuk, hukuman mati umpamanya, seringkali hanya dilihat dari satu sisi saja, yaitu kemanusiaan menurut standar abad 20 yang dianggap paling beradab, tetapi tidak dilihat alasan, maksud, tujuan dan keefektifan hukuman tersebut.
Hukuman dalam Islam memiliki landasan yang kokoh yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, dan bukan berdasarkan dugaan manusia semata mengenai hal-hal yang dirasa adil; Dari sisi kepastian hukum juga jelas karena manusia dilarang mengubah hukuman yang diancamkan, jadi untuk tindak pidana yang diberi ancaman hukuman hadd tidak boleh ada perobahan, perbuatan yang dilarang tetap menjadi sesuatu yang diharamkan sampai kapanpun.
Kasus zina umpamanya, ditegaskan bahwa hukuman mati bagi pelaku yang muhsan (terikat perkawinan) hanya dapat dilakukan setelah melalui proses pembuktian yang sangat ketat, sehingga dimasa Nabi dan Sahabatpun penjatuhan hukum ini dapat dihitung dengan jari. Jelasanya alat bukti berupa empat orang saksi yang langsung melihat perzinaan itu tidaklah mudah; Apalagi dalam hukum pidana Islam juga ada ancaman pidana 80 kali cambuk bagi penuduh zina yang tidak ada bukti.
Al-Qur’an memang tidak menyebutkan secara khusus tentang perkosaan, akantetapi lebih menitik beratkan tentang zina, apakah dilakukan suka-sama suka oleh keduabelah pihak atau karena memaksa seseorang untuk melakukan zina; Artinya jika ada bukti bahwa kehamilan perempuan itu karena diperkosa, maka baginya tidak dikenakan hadd zina[23] sementara yang dikenakan hukuman adalah terhadap pelaku perkosaan, sama adakah si pemerkosa itu telah menikah atau belum. Oleh karena itu Allah melarang perbuatan zina sebagaimna dituangkan dalam QS.17-Al-isra’: 32 “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu merupakan suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk”
Zina berarti hubungan kelamin diantara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat hubungan tali perkawinan. Tidak menjadi masalah apakah salah seorang atau kedua belah pihak telah memiliki pasangan hidupnya masing-masing ataupun belum menikah sama sekali. Kata “Zina” ini dikenakan baik terhadap seorang atau kedua orang yang telah menikah ataupun belum; Islam menganggap zina bukan hanya sebagai suatu dosa yang besar, melainkan juga sebagai suatu tindakan yang akan membuka gerbang berbagai perbuatan memalukan lainnya, akan menghancurkan landasan keluarga yang sangat mendasar, akan mengakibatkan terjadinya banyak perselisihan dan pembunuhan, meruntuhkan nama baik dan kekayaan, serta menyebarluaskan sejumlah penyakit baik jasmani maupun rohani[24]
Ulama Fiqh mengemukakan batasan-batasan tertentu terhadap zina, karena hukuman yang sangat berat bagi pelakunya; Dalam Hukum Islam definisi zina sebagai suatu kejahatan, berbeda antara satu mazhab dengan mazhab lainnya; Suatu definisi yang paling komprehensif diberikan oleh mazhab Hanafi:
Zina adalah hubungan seksual yang dilakukan seorang laki-laki secara sadar terhadap seorang wanita yang disertai nafsu seksual dan diantara mereka tidak atau belum ada ikatan perkawinan secara sah atau ikatan perkawinan syubhat (yang diragukan keabsahannya, seperti nikah tanpa wali) atau tidak ada hubungan pemilikan (tuan dengan hambanya)[25]
Hubungan seksual yang diharamkan tersebut menurut Abdul Qadir Audah adalah memasukan penis meskipun hanya sebagian ke dalam vagina (iltiqa khitanain), baik hubungan itu menyebabkan sperma keluar atau tidak; Sementara menurut Ulama mazhab Maliki, Syafi’i, Hambali, Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, hubungan seksual tersebut tidak hanya dilakukan pada vagina, tetapi juga pada dubur wanita maupun dubur laki-laki. Menurut mereka, status hukum dari hubungan seksual yang dilakukan pada vagina dan dubur adalah sama; karena itu dikatakan zina[26]
Berpijak pada beberapa teori dan pemikiran yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi korban perbuatan pidana (korban perkosaan sedarah), maka untuk menghilangkan perbedaan penafsiran perlu dikemukakan pengertian terhadap beberapa variabel atau konsep sebagai berikut:
Korban kejahatan adalah seorang atau lebih yang menderita atau mengalami kerugian fisik, penderitaan mental, dan kerugian ekonomi atau finansial sebagai akibat adanya suatu kejahatan; Tulisan ini difokuskan pada permasalahan yang berkaitan dengan korban perkosaan sedarah (incest), sehingga perlu diberikan pengertian secara khusus apa yang dimaksud dengan korban perkosaan sedarah (incest). Korban perkosaan sedarah adalah, seorang perempuan baik anak-anak maupun orang dewasa antara dua orang saudara kandung atau yang masih terkait hubungan darah “yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa untuk bersetubuh diluar perkawinan”[27]; Termasuk korban dalam pengertian ini meliputi orang tua dan keluarga dekat atau orang-orang yang menjadi korban, dan juga orang-orang yang menderita kerugian karena berusaha mencegah terjadinya korban[28].
Tulisan ini menggunakan viktimologi sebagai dasar untuk melakukan kajian terhadap korban; Dimaksud dengan viktimologi adalah; suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah pengorbanan manusia atau harta benda sebagai suatu kenyataan sosial; Dengan viktimologi akan dikaji bagaimana penyelesaian tindak pidana perkosaan dari sudut kepentingan korban dalam rangka menegakan hukum, dan keadilan serta hak-hak asasi manusia. Yang dimaksud dengan peradilan pidana adalah suatu rangkaian proses untuk menyelesaikan tindak pidana yang dimulai dari tahap penyidikan, penuntutan sampai pemeriksaan pengadilan hingga penjatuhan pidana, serta Lembaga Pemasyarakatan, yang kesemuanya diperlukan keterpaduan dalam rangka gerak masing-masing subsistem kearah tercapainya tujuan bersama[29].
Berpijak dari uraian di atas, yang dimaksud dengan “Derita Korban Perkosaan sedarah (incest)” adalah, “Penyidikan terhadap suatu peristiwa kekerasan seksual sedarah (Perkosaan/ Incest) sebagai pelanggaran atas perbuatan seksual yang terlarang antara dua anggota keluarga inti yang terjadi dikalangan rumah tangga yang masih mempunyai hubungan sedarah”, kecuali hubungan seksual suami isteri” seperti: hubungan seksual yang dilakukan antara Bapak dan anak, Paman dengan ponakan, sesama saudara kandung, atau juga yang dilakukan oleh ibu dengan anaknya
D. Viktimologi dan Perkembangannya
1. Arti Viktimologi
Mannhaeim sebagaimana dikutip oleh Reksodiputro[30] mengatakan sering tidak jelas yang diperkirakan semula siapa yang penjahat dan siapa yang korban; Kadang-kadang hanya soal kebetulan saja yang menentukan siapa yang jadi pelaku delik dan siapa menjadi korban delik; Sering pula peranan itu bisa bertukar seperti pada seorang penipu yang dibunuh oleh korbannya; Lebih lanjut Reksodiputro mengutip tentang korban, ia membedakan 5 macam korban berdasarkan derajat kesalahannya sebagai berikut:
1. Yang sama sekali tidak bersalah
2. Yang jadi korban karena kelalaiannya
3. Yang sama salahnya dengan pelaku
4. Yang lebih bersalah daripada pelaku; dan
5. Yang korbannya adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan).
Melalui penggolongan korban berdasarkan derajat kesalahannya ini, dapat dikatakan bahwa kadang-kadang korbanlah sebagai faktor penentu terjadinya suatu tindak pidana, atau dengan perkataan lain bahwa korbanlah yang membawa dirinya ke-dalam situasi yang riskan yang dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana. Jika demikian kondisinya, maka tidak adil dan proporsional bila pertanggungjawaban pidana semata-mata dibebankan kepada pelaku
Salah satu peran korban yang berkaitan dengan tindak pidana yang dapat berpengaruh pada semakin berkembangnya tindak pidana dalam masyarakat, yaitu tidak dilaporkannya tindak pidana yang di-alaminya kepada aparat penegak hukum
Tidak dilaporkannya tindak pidana oleh masyarakat atau korban ini sangat mempengaruhi angka gelap (dark number) kejahatan yang terjadi; Kurang adanya minat masyarakat atau korban untuk melaporkan tindak pidana yang terjadi dipengaruhi oleh berbagai macam alasan, yaitu mungkin korban takut atau enggan berhadapan dengan penegak hukum, atau karena korban tidak mengetahui tentang hak-haknya atau karena korban sendiri merasa sekaligus sebagai pelaku, sehingga takut digolongkan sebagai tersangka manakala ia melaporkan peristiwa yang terjadi pada penegak hukum.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro sebagai penyebab korban tidak melaporkan kejahatan yang dialaminya sebagai berikut:
1. Meskipun tahu menjadi korban, tetapi tidak bersedia melapor karena:
a. Menganggap polisi tidak efisien atau tidak akan mempedulikan laporan
b. Menganggap peristiwa itu sebagai “urusan pribadi” karena:
1) Akan menyelesaikan di luar pengadilan, atau
2) Mereka malu dan tidak bersedia menjadi saksi (seperti dalam kasus kesusilaan atau mengalami penipuan karena kebodohan atau ketamakan);
2. Korban tidak mengetahui bahwa telah mengalami peristiwa kejahatan (misalnya dalam hal penipuan yang “canggih”);
3. Korban yang sifatnya abstrak (abstract victim) dan karena itu sukar ditentukan secara jelas (misalnya masyarakat konsumen);
4. Korban mengalami peristiwa kejahatan, karena sendiri terlibat dalam kejahatan (victims of their own criminal activity; misalnya penipuan dalam perdagangan narkotika);
5. Secara “resmi” tidak terjadi korban kejahatan, karena adanya kewenangan “deskresi” (misalnya dari polisi, hal ini menyangkut kebijakan penegakan hukum).[31]
Pengkajian tentang hubungan korban dan pelaku kejahatan sangat penting dalam upaya penanggulangan kejahatan; Penanggulangan kejahatan tidak bisa dipisahkan dari peran korban dalam terjadinya tindak pidana; Peran korban ini dapat dijadikan sebagai alasan untuk mempertimbangkan hal-hal yang meringankan maupun memberatkan hukumannya; Pertimbangan peran korban dalam tindak pidana juga dapat dijadikan alasan untuk membebaskan pelaku dari pertanggungjawaban pidana jika dapat dibuktikan korban sebagai orang yang bersalah bukan terdakwa; Selain dibutuhkan perhatian terhadap pelaku, korbanpun perlu mendapat perhatian juga; Perhatian terhadap korban ini di pengaruhi oleh pemikiran bahwa dengan terjadinya suatu tindak pidana maka menimbulkan kerugian besar bagi korban, sehingga perlu dilindungi kepentingannya yang telah dirugikan melalui berbagai bentuk tindakan, misalnya pemberian ganti kerugian, pengakuan dan pelayanan yang baik agar ia tidak menjadi korban lagi.
Perhatian terhadap korban sebagai akibat tindak pidana, dapat dikaji secara khusus melalui viktimologi; Yang dimaksud dengan viktimologi, secara etimologis viktimologi berasal dari kata latin “victima” yang berarti korban dan “logos” yang berarti ilmu.
Arif Gosita memberikan pengertian terhadap viktimologi: adalah suatu pengetahuan ilmiah/ studi yang mempelajari suatu viktimasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.[32] Sahetapy memberikan pengertian terhadap viktimologi dengan menyatakan bahwa viktimologi adalah ilmu atau disiplin yang membahas permasalahan korban dalam segala aspek dan vasetnya[33]
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa: viktimologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari atau mengkaji permasalahan korban kejahatan atau penderitaan manusia sebagai akibat terjadinya suatu kejahatan.
2. Perkembangan Viktimologi
Viktimologi pada awalnya merupakan bagian dari kriminologi, tapi karena kriminologi lebih memfokuskan perhatian pada pelaku kejahatan, dan bagaimana menanggulangi kejahatan yang terjadi, maka timbul keinginan untuk memisahkan viktimologi dari kriminologi, agar melalui viktimologi dapat dikaji permasalahan korban kejahatan secara khusus. Timbulnya viktimologi ini karena para ahli mulai menyadari bahwa tidak adil bila dalam peradilan pidana hanya pelaku tindak pidana saja yang mendapat perhatian terhadap hak-haknya, sedangkan korban tindak pidana kurang mendapat perhatian; kondisi ini mendorong adanya pertumbuhan dan perkembangan viktimologi.
Perkembangan viktimologi dalam mempelajari permasalahan koraban dapat terjadi dalam tiga fase sebagaimana dikemukakan Separovic (1985: 29) yang dikutip oleh Ediwarman sebagai berikut:
Pada awalnya viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja; Pada fase ini dikatakan sebagai Penal or special victimolog
Pada fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan saja, tetapi juga meliputi korban kecelakaan; Pada fase ini disebut sebagai general victimology
Fase ketiga viktimologi telah berkembang lebih luas lagi yaitu mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasan dan hak-hak asasi manusia, fase ini disebut new victimolog[34]
Pandangan ini menunjukkan adanya perkembangan viktimologi dalam mempelajari pemasalahan korban; Pada mulanya pengkajian viktimologi hanya difokuskan kepada korban kejahatan, sedangkan pada fase kedua sudah agak meluas kajian viktimologi yaitu terhadap korban kecelakaan, dan pada fase ketiga kajian viktimologi sudah berkembang, yaitu sudah sampai pada pengkajian tentang permasalahan korban yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan dan hak asasi manusia, atau dengan kata lain viktimologi telah mempelajari permasalahan korban seluas-luasnya.
Berkaitan dengan perkembangan viktimologi ini dikemukakan oleh Sahetapy sebagai berikut:
Paradigma viktimologi tidak hanya berkaitan dengan kejahatan dalam artian klasik saja, tetapi juga menyangkut perbuatan-perbuatan lain di luar bidang hukum pidana; Abuse of power jelas mengindikasikan bahwa perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasan, berarti dapat juga dilakukan oleh suatu kekuasan yang sah; Itu berarti bahwa memiliki kekuasan tidak dengan sendiri berarti memiliki kebenaran; Jadi rakyat bisa saja dikorbankan untuk kepentingan penguasa atau kepentingan yang berkuasa tanpa memperhatikan atau mengindahkan atau menghormati norma-norma hukum dan atau moral[35]
Pendapat Sahetapy ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Separovic bahwa kajian viktimologi dalam perkembangannya tidak hanya terbatas pada pengkajian terhadap korban kejahatan dalam lingkup hukum pidana saja, melainkan sudah berkembang hingga pengkajian korban dalam dimensi yang lebih luas, seperti koban tindak pidana lingkungan hidup (koban pencemaran lingkungan), korban ketidak adilan sebagai akibat tidak ditegakannya hukum dengan adil dan benar, sehingga viktimisasi itu dapat meliputi baik viktimisasi secara fisik, psikis atau mental berkaitan dengan berbagai perbuatan.
Perbuatan yang dapat menimbulkan korban ini dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok tertentu atau komunitas tertentu, bahkan perbuatan ini dapat dilakukan oleh pihak penguasa; Bila viktimisasi ini dilakukan oleh penguasa, maka korban yang ditimbulkan dapat terdiri dari perorangan, beberapa orang atau kelompok orang tertentu
Melihat demikian luasnya kajian viktimologi Sahetapy mengatakan bahwa viktimisasi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Viktimisasi politik. Dalam katagori ini dapat dimasukkan aspek penyalahgunaan kekuasan, perkosaan hak-hak asasi manusia, campur tangan angkatan bersenjata di luar fungsinya, terorisme intervensi dan peperangan lokal atau dalam skala internasional;
2. Viktimisasi ekonomi, terutama dimana ada kolusi antara penguasa dan konglomerat, produksi barang-barang yang tak bermutu atau yang merusak kesehatan, termasuk di dalam aspek ini pencemaran lingkungan hidup dan rusaknya ekosistem;
3. Viktimisasi keluarga, seperti perkosaan termasuk diantaranya anggota keluarga, penyiksaan terhadap anak atau istri dan menelantarkan kaum manula atau orang tuanya sendiri;
4. Viktimisasi media, dalam hal ini dapat disebut penyalahgunaan obat bius, alkoholisme, malpraktek di bidang kedokteran, eksprimen kedokteran yang melanggar (etik) prikemanusiaan;
5. Viktimisasi yuridis, dimensi ini cukup luas baik yang menyangkut aspek peradilan (dan lembaga pemasyarakatan) maupun yang menyangkut dimensi diskriminasi perundang-undangan termasuk menerapkan hukum kekuasaan, kematian perdata dan stigmatisasi kendatipun sudah diselesaikan aspek peradilannya.[36]
Perlu ditegaskan juga bahwa masalah perlindungan korban, sebagaimana ditegaskan oleh Barda Nawawi, merupakan 2 (dua) dari 1 (satu) mata uang yang sama. Artinya lanjut Barda, kedua-duanya tidak bisa dipisah-lepaskan; Lebih lanjut Barda mengutip pernyataan Zvonimir-Paul Sparovic, “The rights of the Victim are a Componen part of the consept of huuman right” dalam bukunya (Victimology, 1985: 43); Jadi, masalah perlindungan hak korban ini pada hakikatnya juga merupakan bagian dari masalah perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)[37]
Mengingat viktimologi sangat luas dalam melakukan pengkajian terhadap korban, baik korban kejahatan maupun korban yang berdimensi luas seperti dikemukakan sebelumnya maka dalam tulisan ini dilakukan pengkajian secara viktimologis juga, tapi dikhususkan pada viktimisasi keluarga, atu lebih khusus lagi terhadap korban perkosaan sedarah (incest).
Dilihat dari segi perkembangannya, maka cikal bakal viktimologi sudah berkembang abad ke-20 yaitu sejak tahun 1941 melalui tulisan Hans von Hentig yang berjudul “Remarks on the Interaction of Perpetrator and victim”. Tulisan ini menganalisis tentang hubungan interaksi antara pelaku dan korban perbuatan pidana, sehingga tulisan ini dapat membuka cakrawala yang lebih luas bahwa dalam suatu perbuatan pidana terdapat hubungan inter aksi antara pelaku dan korban; hal ini mengindikasikan bahwa terjadinya tindak pidana tidak bisa dipandang lepas dari korban. Sebelum tahun 1941 yaitu pada tahun 1937 Benyamin Mendelshon sudah menulis juga tentang hal yang sama, yaitu ia sudah mempersoalkan hubungan pelaku dan korban dalam terjadinya suatu kejahatan, tetapi baik Mendelshon maupun Hentig pada tahun 1937 maupun tahun 1941 belum mempergunakan istilah viktimologi.
Istilah viktimologi baru digunakan Mendelshon pada tahun 1947 melalui tulisannya yang berjudul “The science of the victim” dengan nama victimology. Dengan demikian dapat dikatakan Mendelshonlah orang pertama yang mempergunakan istilah viktimologi, dan Mendelshon juga yang merupakan orang pertama yang mengemukakan ide untuk memisahkan viktimologi dari kriminologi
Ide pemisahan viktimologi dari kriminologi ini meskipun mendapat tantangan, namun upaya untuk mengembangkan pengkajian korban terus berkembang melalui berbagai diskusi, simposium, maupun tulisan-tulisan ilmiah seperti tulisan Hentig pada tahun 1949 (The Criminal and His Victim New Haven) kemudian Mendelshon (“Victimology“ 1956) dan Wolfgang (Patters in Criminal Hommiside, Philadelphia 1958) serta Negel (Victimology Tijdschrift von Strafrecht 1959)
.
Melalui berbagai tulisan ini dapat membantu perkembangan viktimologi sehingga pada tahun 1973 melalui simposium pertama tentang viktimologi, viktimologi dapat diterima sebagai suatu studi ilmiah yang memberi perhatian terhadap permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban kejahatan. Setelah simposium pertama ini, selanjutnya secara berkala dilakukan simposium lainnya yaitu pada tahun 1976 di Boston, simposium ketiga dilakukan di Munster tahun 1979 dan berturut-turut simposium ini dilakukan hingga simposium kedelapan di Australia tahun 1994.
Perkembangan viktimologi dalam membahas permasalahan korban pada awalnya hanya meliputi korban kejahatan konvensional saja, dan dalam perkembangan selanjutnya viktimologi sudah mulai membahas juga kejahatan nonkevensional atau sudah mencakup dimensi yang lebih luas; Hal ini dikemukakan Reksodiputro yang selengkapnya dapat dikutip sebagai berikut:
Kalau semula diskusi dan pembicaraan tentang korban kejahatan hanya difokuskan pada bentuk-bentuk kejahatan konvensional (pembunuhan, perkosaan, penganiayaan berat, dan perampokan), maka dalam kongres PBB di atas dibicarakan pula dimensi baru kejahatan dalam konteks pembangunan
Timbul disini korban jenis baru yaitu korban dari kejahatan yang pelakunya adalah badan hukum (koorporasi) pengusaha yang mempunyai kedudukan terhormat dalam masyarakat (penjahat kerah putih, white collor criminals) ataupun mereka yang mempunyai kuasa politik (publik power)[38]
Berdasarkan pendapat ini dapat dikatakan bahwa viktimologi dalam perkembangannya sudah menjangkau semua permasalahan korban, yaitu viktimologi tidak hanya membahas korban dalam arti klasik, tapi telah membahas korban dalam dimensi lain yaitu korban kejahatan nonkonvensional.
Kongres PBB ketujuh Tanggal 29 Nopember 1985 di Milan Italia, Majelis PBB menyetujui sebuah deklarasi untuk melindungi para korban kejahatan; Deklarasi ini dianggap sebagai magna Carta bagi korban kejahatan, yang dikenal sebagai Declaration of Basic Principles of Justice and Abuse of Power (Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasan). Deklarasi ini terdiri dari beberapa butir yang dapat dikutip sebagai berikut:
Korban harus diperlakukan dengan dihibur hatinya dan di hormati martabatnya dan ia berhak atas ganti rugi yang segera dari akibat deritanya;
Mekanisme administratif dan justisial harus dibentuk dan diberdayakan agar para korban dapat memperoleh ganti rugi;
Korban harus diberi tahu atas perannya, pengaturan waktu dan kemajuan perkaranya;
Pandangan dan keinginan korban harus dikemukakan pada setiap tahapan proses untuk dipertimbangkan;
Langkah-langkah harus diambil untuk mengurangi se-minimal mungkin kelambatan dan ketidak nyamanan para korban, untuk menjamin kebebasan pribadinya, dan untuk melindunginya dari intimidasi dan pembalasan;
Pelaku tindak pidana, sedapat mungkin memberi ganti kerugian dalam bentuk restitusi kepada korban, keluarga atau yang menjadi tanggungannya. Dalam hal petugas pemerintah telah melanggar hukum pidana, korban harus mendapat ganti rugi dari negara;
Dalam hal ganti rugi dalam bentuk restitusi tidak mungkin diperoleh dari pelaku tindak pidana, sedangkan kerugian fisik maupun kerugian mentalnya cukup besar, negara harus menyediakan ganti rugi dalam bentuk kompensasi itu untuk korban dan keluarganya;
Korban harus menerima bantuan sosial, psikologikal, medikal, dan materi yang diperlukan baik melalui saluran pemerintah, maupun melalui saluran kegiatan sukarela;
Polisi, pengadilan, pekerja sosial dan petugas yang relevan harus mendapat perhatian agar lebih tanggap akan kebutuhan korban;
Negara harus mempertimbangkan agar norma-norma yang melarang penyalah gunaan kekuasan, termasuk kekuasan ekonomi dan kekuasaan politik untuk dimasukan kedalam perundang-undangan nasionalnya. Disamping itu, negara harus menyediakan upaya-upaya untuk korban atas penyalahgunaan tersebut, termasuk penggantian kerugian dalam bentuk restitusi dan kompensasi.[39]
Muladi juga menegaskan bahwa pada Tahun 1993, Sidang Umum PBB mengadopsi deklarasi yang menentang kekerasan terhadap wanita yang dirumuskan pada Tahun 1992 oleh Komisi Status Wanita PBB; Pada Pasal 1 dan 2 dinyatakan (diantaranya mencakup) “perbuatan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan terhadap wanita baik pisik, seksual, psikis, pemaksaan untuk melacur …… dll”.[40]
Deklarasi ini menghendaki agar korban kejahatan baik kejahatan konvensional maupun nonkonvensional mendapat perhatian dan perlakuan yang wajar dari penegak hukum maupun pemerintah, serta meringankan beban mereka melalui bantuan sosial, psikologikal, medikal, dan bantuan materi melalui restitusi dan kompensasi.
Kongres PBB ke-delapan di Havana-Kuba, pada Tahun1990 berhasil dibuat pedoman bagi para jaksa dalam memberi perlindungan bagi korban kejahatan; Pedoman ini dikenal sebagai “Guidelines on the Role of Prosecutors” yang tediri dari 22 butir; Dalam butir 2 b, dikatakan bahwa para jaksa harus diberi kesadaran atas tugas-tugas ideal dan etika jabatannya, atas perlindungan hak-hak tersangka dan korban; Dalam butir 13 b, dikatakan dalam menjalankan tugasnya para jaksa harus memperhatikan kedudukan tersangka dan korban dengan wajar; dan dalam butir 18 dikatakan dalam hal jaksa hendak menghentikan proses penuntutan karena alasan teknis atau karena asas oportunitas, jaksa harus memberikan pertimbangan yang tepat dengan sepenuhnya menghargai para tersangka dan para korban.
Kongres PBB ini berlangsung terus, pada kongres ke-sembilan di Kairo, PBB menyerukan kepada semua negara anggota agar dalam penyelenggaraan hukum nasionalnya dapat berupaya untuk memberikan perhatian dan bantuan kepada korban kejahatan dan keluarganya
Di Indonesia viktimologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan pula; Beberapa ahli hukum pidana Indonesia yang dapat digolongkan sebagai pelopor dalam pengembangan viktimologi yang menaruh perhatian terhadap permasalahan korban kejahatan antara lain J.E. Sahetapy, Mardjono Reksodiputro, Arif Gosita, Muladi, Harkristuti Harkrisnowo dan masih banyak lagi Guru Besar Hukum Pidana yang menaruh perhatian terhadap permasalahan korban ini, seperti Barda Nawawi, demikian juga perhatian dari ahli hukum lainnya..
Perkembangan viktimologi ini dapat dilihat dari berbagai kegiatan yang berkaitan dengan permasalahan korban kejahatan, misalnya seminar viktimologi di Surabaya tanggal 23 Maret 1985, yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Kriminologi Fakults Hukum Airlangga dengan Yayasan Asia-Jakarta dengan Thema: Relevansi viktimologi di Indonesia dewasa ini, dengan melibatkan pembicara baik dari dalam maupun luar negeri. Sebelum Tahun 1985, telah dilakukan juga seminar tentang viktimologi yang dapat dilihat sebagai awal pengembangan viktimologi yaitu tahun 1976.
Di Tahun 1993 atas kerjasama Universitas Airlangga dengan Yayasan Miyasawa Foundation, Asia Crime Prevention Foundation (ACPF) dan Masutoto Foundation diselenggarakan seminar dengan Thema: Viktimologi dalam Rangka Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua. Pada tahun 1994 Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum Golongan Karya (LPPH-Golkar) menyelenggarakan seminar dengan Thema: Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan. Pembicara dalam seminar ini semua berasal dari dalam negeri; pada tahun yang sama atas kerjasama Fisip UI dan Polda Metro Jaya diselenggarakan seminar tentang pencegahan terjadinya korban kejahatan. Pada Tahun 1999 dilakukan juga suatu seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Republik Indonesia dengan Thema: Perlindungan Korban Kejahatan dikaitkan dengan Tuntutan Pidana oleh Penuntut Umum.
Selain seminar-seminar yang dikemukakan, sudah muncul juga berbagai macam tulisan maupun hasil-hasil penelitian dari ahli hukum atau komentar-komentar tentang hal-hal yang berkaitan dengan korban kejahatan, sebagai indikasi pengembangan viktimologi di Indonesia
F. Tindak Pidana Perkosaan (Incest)
Perkosaan merupakan suatu tindak pidana yang sangat meresahkan masyarakat, begitu orang membaca atau mendengar berita-berita pemerkosaan timbul kecemasan, ketakutan dan kekhawatiran terutama bagi mereka yang mempunyai anak perempuan, sehingga orang berupaya menghindari tindak pidana ini. Walaupun sudah ada upaya untuk menghindari tindak pidana ini, namun tindak pidana pemerkosaan masih terjadi dalam kehidupan masyarakat
Mulyana W. Kusuma sebagaimana dikutip Topo Santoso, dipaparkan berbagai mitos dan fakta sekitar perkosaan sebagai berikut:
Dalam perspektif mitos:
Perkosaan merupakan tindakan implusif dan didorong oleh nafsu birahi yang tidak terkontrol;
Korban diperkosa oleh orang asing (tidak dikenal korban), orang sakit jiwa, yang mengintai dari kegelapan;
Perkosaan hanya terjadi diantara orang-orang miskin dan tak terpelajar;
Perempuan diperkosa karena berpenampilan yang mengundang perkosaan (berpakain minim, berdandan menor, berpenampilan penggoda dan sebagainya);
Perkosaan terjadi ditempat yang beresiko tinggi; di luar rumah, sepi, gelap dan di malam hari;
Perempuan secara tersamar memang ingin diperkosa.
Sementara faktanya:
Perkosaaan bukanlah nafsu birahi, tidak terjadi seketika. Ia merupakan kekerasan seksual dan manifestasi kekuasaan yang ditujukan pelaku atas korbannya. Sebagian perkosaan merupakan tindakan yang direncanakan;
Banyak pelaku perkosaan adalah orang yang dikenal baik oleh korban. Pada kenyataannya, banyak perkosaan bisa menimpa siapa saja, tidak peduli cantik atau tidak; semua umur, semua kelas sosial;[41]
Perkosaan tidak ada hubungannya dengan penampilan seseorang. Perkosaan dapat terjadi pada anak-anak dibawah umur dan juga pada orang lanjut usia;
Hampir setengah dari jumlah perkosaan terjadi dirumah korban, disiang hari;
Korban perkosaan tidak pernah merasa senang dan tidak mengharapakan perkosaaan. Trauma perkosaan sulit hilang seumur hidup.[42]
Mencermati apa yang dipaparkan di atas maka dapat diketahui perkosaan kadang-kadang terjadi semata-mata bersumber dari pelaku sendiri, yaitu karena didorong oleh nafsu birahi yang tidak terkontrol, namun terkadang juga dipengaruhi oleh penampilan korban yang menimbulkan nafsu pelaku. Dari sudut korban, perkosaan tidak hanya terjadi pada orang dewasa, anak-anakpun menjadi korban tindak pidana perkosan; dari sisi pelaku perkosaan dilakukan oleh pejabat maupun penganggur, orang yang belum dikenal atau terkadang orang yang sangat dekat hubungannya dengan korban, bahkan hubungan sedarah sekalipun (Incest).
Perkosaan sudah mendapat legitimasi agar pelakunya diproses menurut hukum; Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana perkosaan dimuat dalam Bab XIV buku II di bawah judul: Kejahatan terhadap Kesusilaan. Kejahatan kesusilaan ini terdiri dari berbagai jenis tindak pidana; Pengaturannya mulai dari Pasal 281-303 dan Bab VI buku II Pasal 532- 544.
Tindak pidana ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Perbuatan yang berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan di muka umum, yang berhubungan dengan benda-benda yang melanggar kesusilaan (bersifat porno: Pasal 281-283);
Perzinahan, perkosaaan, yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296);
Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);
Berkaitan dengan pengobatan untuk menggugurkan kehamilan (Pasal 299);
Yang berhubungan dengan minuman yang memabukkan (Pasal 300);
Menyerahkan anak untuk mengemis dan lain-lain (Pasal 301);
Penganiayaan terhadap hewan (Pasal 302);
Perjudian (Pasal 303 dan 303 bis);
Pasal-pasal yang berkaitan dengan pelanggaran yaitu:
Mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal 532-535);
Berkaitan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539);
Yang berkaitan dengan tindak pidana susila terhadap hewan (Pasal 540, 541, 544);
Khusus mengenai tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP sebagai berikut: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidan penjara paling lama 12 tahun” (penjara).
Definisi tentang perkosaan dalam KUHP tidak ditemukan, oleh karena itu untuk memahami apa yang dimaksud dengan perkosaan dapat dikemukakan pengertian dari kamus dan pendapat sarjana.
Kamus besar Bahasa Indonesia menegaskan bahwa “perkosa berarti paksa, kekerasan, gagah, kuat, perkasa”; Memperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi[43] Dalam kamus hukum edisi ke-lima ditegaskan bahwa, perkosaan artinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan di luar perkawinan untuk bersetubuh dengan dia
Wirjono Prodjodikoro memberikan komentar berkaitan dengan perkosaan menyatakan bahwa istilah verkrachting diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai perkosaan, namun ia katakan bahwa terjemahan ini kurang tepat karena verkrachting artinya perkosaan untuk bersetubuh, sedangkan dalam bahasa Indonesia perkosaan memiliki makna yang luas belum menuju pada perkosaan untuk bersetubuh. Oleh karena itu maka kualifikasi tindak pidana dalam Pasal 285 KUHP harus perkosaan untuk bersetubuh
R. Soesilo mengomentari Pasal 285 KUHP dengan menyatakan suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai perkosaan, apabila perbuatan itu dilakukan terhadap perempuan atas paksaan sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya perempuan yang dipaksa tidak dapat melawan lagi dan terpaksa mau melakukan persetubuhan. Persetubuhan menurut Soesilo yaitu “peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk kedalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air manie”[44]
Mencermati komentar Soesilo ini dapat dikatakan bahwa ia hanya melihat adanya suatu tindak pidana perkosaan dari sisi yuridis semata, yaitu jika perbuatan itu mencocoki rumusan Pasal 285 KUHP, yang antara lain adanya penggunaan kekerasan dalam melakukan persetubuhan dan air mani harus tumpah dalam vagina wanita.
Sahetapy sebagaimana dikutip Made Darma Weda mengomentari perkosaan dari sisi yang lain, yaitu bahwa consent atau persetujuan sangat menentukan untuk mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai perkosaan atau tidak. Untuk lebih jelasnya dapat dikutip pendapat Sahetapy sebagai berikut: “pengertian perkosaan secara kriminologis didasarkan atas tidak adanya consent dari pihak wanita. Penetrasi tidak harus selalu melalui vagina tetapi dapat pula melalui mulut dan anus”[45]
Pendapat ini mirip dengan pengertian perkosaan yang dirumuskan dalam The Ensiklopedia American Internasional Edition, volume 23 yaitu: perkosaan (rape) dalam hukum adalah suatu perbuatan seksual yang bertentangan dengan hukum, yakni terjadi persetubuhan tanpa adanya persetujuan dari korban.
Mencermati pengertian perkosaan secara kriminologis sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa suami dapat melakukan perkosaan terhadap isteri bila tidak ada persetujuan dari isteri dalam melakukan hubungan seks (bila dipaksa); tapi perbuatan ini tidak bisa dihukum, karena KUHP tidak menganut perkosaan dalam artian kriminologis melainkan yuridis. Olehkarena itu, jika persetubuhan dilakukan suami yang didahului dengan kekerasan, tidak bisa digolongkan sebagai perkosaan, mungkin bisa digolongkan sebagai penganiayaan yang bisa dihukum berdasarkan Pasal 351 KUHP
Perkosaan dapat terjadi dalam berbagai jenis; Jenis-jenis perkosaan menurut Steven Box, sebagaimana dikutip Made Darma Weda yaitu:
“Sadistic rape” yaitu perkosaan yang dilakukan secara sadistik. Si pelaku mendapatkan kepuasan seksual bukan karena bersetubuh, tetapi karena perbuatan kekerasan terhadap “ganitalia” dan tubuh sikorban;
“Anger rape” merupakan ungkapan perkosaan yang karena kemarahan dilakukan dengan sifat berutal secara fisik. Seks menjadi senjatanya dan dalam hal ini tidak diperolehnya kenikmatan seksual. Yang dituju acap kali keinginan untuk mempermalukan si korban;
“Domination rape” yaitu pemerkosaan yang dilakukan oleh mereka yang ingin menunjukan kekuasaannya, majikan yang memerkosa bawahannya. Tidak ada maksud untuk menyakitinya. Keinginannya adalah bagaimana memilikinya secara seksual;
“Seduction turned into rape” yaitu pemerkosaan yang ditandai dengan adanya relasi antara pelaku dengan korban. Jarang digunakan kekerasan fisik dan tidak ada maksud mempermalukan. Yang dituju adalah kepuasan si pelaku dan si korban menyesali dirinya karena sikapnya yang kurang tegas;
“Exploitation rape” merupakan jenis pemerkosaan dimana si wanita sangat bergantung dari si pelaku baik dari sosial maupun ekonomi. Acap kali terjadi dimana si isteri dipaksa oleh suami. Kalaupun ada persetujuan bukan karena ada keinginan seksual dari si isteri, melainkan acap kali demi kedamaian rumah tangga.[46]
Mencermati pendapat Steven Box tentang bentuk-bentuk pemerkosaan maka ada bentuk pemerkosaan yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 285 KUHP misalnya pemerkosaan yang dilakukan karena ada hubungan baik sebelumnya, sehingga dilakukan tanpa kekerasan, atau perkosaan yang dilakukan karena adanya paksaan dari suami.
F. Faktor Penyebab Incest
Pada dasarnya seseorang manusia merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang memerlukan pertemuan biologis atau sosial, setiap kelompok itu adalah normatif, artinya, terpaut didalamnya tumbuh norma-norma dari rtingkah laku sesuai dengan keadaan yang terbentuk dari aktivitas khusus dari kelompok, dengan demikian menurut A Lacassagne teori lingkunganlah yang memberikan kesempatan sebagai penyebab timbulnya suatu kejahatan.
Bonger menekankan bahwa sumber dari segala kejahatan adalah kemiskinan dan kesengsaraan; Artinya menurut Bonger pengaruh keadaan terhadap jiwa manusia, kesengsaraan membuat fikiran menjadi tumpul, kebodohan dan ketidak biadaban merupakan penganut-penganutnya; Faktor ini merupakan yang berkuasa atas timbulnya kejahatan khususnya incest. Kenekatan pelaku melakukan perbuatan incest ini merupakan suatu kebodohan yang nyata[47] terlebih lagi tanpa ditopang oleh pengetahuan dan keyakinan ajaran agama yang dimiliki
Socrates mengungkapkan bahwa: manusia masih melakukan kejahatan karena pengetahuan tentang kebijakan tidak nyata baginya; karenanya pendidikan yang dilaksanakan di rumah dan di sekolah memegang peranan yang sangat penting dalam mebentuk keperibadian seseorang, dan pendidikan yang jelek atau kegagalan di sekolah lalu dikembangkan di rumah akan mengakibatkan timbulnya suatu kejahatan, dan oleh Van Hamel ditambhkan lagi dengan keadaan lingkungan yang mendorong seseorang melakukan kejahatan, meliputi keadaan alam (geografis, dan klimatologis), keadaan ekonomi dan tingkat keberadaban[48],
Berpijak dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa faktor lingkungan dipengaruhi sub faktor didalamnya, yang selalu memainkan peranan penting, yaitu keadaan sosial dan budaya yang tercipta pada interen keluarga maupun sekitar tempat tinggal (marginal), termasuk juga kemajuan teknologi baru seperti pengaruh tontonan yang merangsang dan kebiasaan yang tidak membatasi aurat pria dan wanita, lantaran beranggapan terdapat hubungan darah yang amat dekat (sekeluarga), sementara tanpa disengaja lama-lama menjadi sebuah kebiasaan (ketagihan) untuk terus melakukan seksual incest, karena dianggap perbuatan incest tersebut dipandang cukup aman dilakukan dan tidak ada perlawanan yang berarti, sebab si anak karena kepatuhan dan mengingat bakti orang tua kepadanya, merasa enggan dan bungkam untuk membeberkan keburukan keluaraga sendiri
G. Dampak Korban Perkosaan
Perkosaan dapat menimbulkan penderitaan bagi korban; Secara umum penderitaan korban sebagaimana dikutip Topo Santoso sebagai berikut:
Dampak secara fisik adalah: sakit asma, menderita migrain, sulit tidur, sakit ketika berhubungan seksual, luka pada bibir (lesion on lipcaused by scratch), luka pada alat kelamin, kesulitan buang air besar, luka pada dagu, infeksi pada alat kelamin, kemungkinan tidak dapat melahirkan anak, penyakit kelamin, infeksi pada pinggul dan lain-lain;
Dampak secara mental adalah: sangat takut sendirian, takut pada orang lain, nervous, sering terkejut, sangat kuatir, sangat hati-hati dengan orang asing, sulit mempercayai seseorang, tidak percaya lagi pada pria, takut akan seks, merasa orang lain tidak menyukainya, dingin secara emosional, sulit berhadapan dengan publik dan teman-teman, membenci apa saja, mengisolasi diri, ketakutan, mimpi-mimpi buruk, merasa dunia tidak seindah yang diduga;
Dampak dalam kehidupan pribadi dan sosial: ditinggalkan teman dekat, merasa dikhianati, hubungan dengan suami memburuk, tidak menyukai seks, tidak bisa jatuh cinta, sulit membina hubungan dengan pria, takut bicara dengan pria, sulit mempercayai atau sungguh-sungguh mencintai, menghindari setiap pria, benci terhadap si-pelaku.[49]
Reni Akbar Hawadi, seorang psikolog mengaskan bahwa tidak jarang wanita korban perkosaan terutama yang masih gadis, terguncang jiwanya. Guncangan jiwa inilah yang menjadikan korban perkosaan terkadang takut, cemas, gelisah, mudah marah, malu, merasa diri tidak normal, menangis bila teringat peristiwa tersebut dan cenderung menutup diri.[50]
Soerjono Soekanto,[51] menegaskan bahwa korban Incest melahirkan derita yang tidak sederhana; Tekanan kekecewaan, konflik dan kekhawatiran yang tidak teratasi, menimbulkan gejala neurosis: seperti rasa takut yang berlebihan, panik, putus asa, perilaku tidak terkendali, kecapaiaan psikis dan psichosis, seperti tidak mengacuhkan lingkungan sekitar, selalu dibayang-bayangi oleh hal-hal yang seolah-olah mengancam dirinya, timbul rasa depresi yang kuat
Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas maka seorang wanita yang menjadi korban perkosaan sangat menderita dalam kehidupannya, baik penderitaan fisik, mental dan sosial. Artinya, bukan hanya saja korban secara langsung, tetapi juga orangtua atau keluarga intinya juga mengalami dampak psikologis yang luar biasa; Dampak terhadap wanita korban perkosaan ini seperti: berubah prilakunya, kurang ceria, kadang-kadang menangis, mengurung diri di kamar, malu bertemu dengan sesama, tidak mau belanja ke pasar, kemungkinan terjadi kehamilan atau tertular penyakit kelamin; Dampak lain sebagai akses dari perkosaan, ada yang ditunda sekolahnya, bahkan ada yang berhenti tidak sekolah lagi
H. Kesimpulan
Secara umum dapat disimpulkan bahwa korban perkosaan sedarah (Incest) merupakan korban kejahatan yang cukup mencemaskan; Penderitaan yang dialami korban dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, yaitu penderitaan fisik, penderitaan mental dan penderitaan pribadi maupun sosial; Penderitaan fisik atau penderitaan materiel yang dialami korban, yaitu terdapat luka-luka fisik, baik luka robek pada vagina korban maupun luka lecet atau luka memar pada bagian tubuh lainnya (akibat pemaksaan); Penderitaan psikologis yaitu rasa takut, rasa malu, rasa berdosa, merasa tidak memiliki harga diri lagi merasa cemas atau kuatir terhadap masa depannya; Penderitaan pribadi dan sosial berdampak bukan hanya pada diri korban, tetapi menyangkut keluarga besar (keluarga inti) dalam kehidupannya: ditinggalkan teman dekat, merasa dikhianati, hubungan dengan suami maupun sedarah memburuk, tidak menyukai seks, tidak bisa jatuh cinta, sulit membina hubungan dengan pria, takut bicara dengan pria, sulit mempercayai atau sungguh-sungguh mencintai, menghindari setiap pria, benci terhadap si-pelaku meskipun sedarah dengan korban.
Al-Qur’an memang tidak menyebutkan secara khusus tentang perkosaan, akantetapi lebih menitik beratkan tentang zina, apakah dilakukan suka-sama suka oleh keduabelah pihak atau karena memaksa seseorang untuk melakukan zina (memperkosa); Artinya jika ada bukti bahwa kehamilan perempuan itu karena diperkosa, maka baginya tidak dikenakan hadd zina[52] sementara yang dikenakan hukuman adalah terhadap pelaku perkosaan, sama adakah si pemerkosa itu telah menikah atau belum.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Arif, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001
--------------, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998
Al-Awwa, Muhammad Salim, “The Basis Of Islamic Penal Legislation”, dalam Bassiouni, M. Cherif, The Islamic Criminal Justice System, London, Paris Rome- New York: Oceana publiation 1882
B. Bosu, Sendi-sendi Kriminologi, Usaha Nasional, Surabaya, 1982
Darma Weda, Made, Kriminologi, Cet.I. Raja Grafindo, Jakarta, 1996
Dep. Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, 5, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990
Djirosisworo, Soedjono, Ruang Lingkup Kriminologi, Armico, Bandung, 1985.
Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996
Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan (Suatu Kumpulan Karangan). Cet II, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993
Hawari. Dadang. 1991. Perlindungan Korban Perkosaan. Solo.
Husin, Kadri, Pelaksanaan Penerapan Hak--Hak Tersangka/ Terdakwa Menurut KUHAP Dalam Proses Peradilan Pidana, Desertasi, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 1997
I Doi, Abdul Rahman, Tindak Pidanan Dalam Syari’at Islam, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1992
Muladi dan Arif, Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992
Muladi, Demokratisasi Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002
--------------, Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cet.1, UNDIP, Semarang, 1995
Paul Sparovic, Zvonirmeir, Victimologi Studeis Of Victim, Zegrib, 1985
R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta Komentarnya Politeia, Bogor, 1980
Reksodiputro, Mardjono, Hak Azasi Manusia dalam Sisitim Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan
--------------, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Pradilan Pidana, Kumpulan karangan buku Keempat, Cet.I, LKUI, Jakarta, 1997
Buku ketiga, Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi UI-Jakarta, 1997
Resolusi Majlis Umum PBB No.40/34 tanggal 29 November 1985;
S.R. Sianturi, 1996
Sabiq, Sayyid, alih bahasa, Fikih Sunnah, VI, PT.Al-Maarif, Bandung, tt
Sahetapy J.E, Ed. Bunga Rampai Viktimasi, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum, Eresco, Bandung, 1995
--------------, Viktimologi Sebuah bunga rampai , Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987
Santoso, Topo, Seksualitas dan Hukum Pidana, Cet. I, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997
--------------, Menggagas Hukum Pidana Islam, Asy-Syamil Press, Bandung, 2001
Soekanto. Soerjono.1983. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Alumni. Bandung.
Soepomo, R, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Cet. II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977.
Surachman, Perlindungan Korban Kejahatan dikaitkan dengan Tuntutan pidana oleh Penuntut Umum, (makalah disampaikan pada seminar Pusat penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI di Jakarta) tanggal 08 Nopember 1999
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990
Warman, Edi, Victimologi Kaitannya dengan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1999
B. UUD/ Artikel/ Majalah/ Koran
Al-Rasyid, Harun, Naskah UUD 1945 sesudah Tiga kali Di ubah oleh MPR, UI-Press, 2002
Majalah Wanita Kartini No.Melinium 2004 Februari, Maret 2000,
Harian Lampung Post, Kamis, 02 Desember 2004
Harian Lampung Post, Selasa, 17 Mei 2005
Harian Radar lampung tanggal 28 Nopember 2001
Harian Radar lampung, Sabtu 05 Maret 2005
[1] Dosen Tetap/ Lektor Kepala pada Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Bandar Lampung
[2] Sahetapy, J.E, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987: 36
[3] Mardjono, Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Pradilan Pidana, Kumpulan karangan buku Keempat, Cet.I, LKUI, Jakarta, 1997: 5.
[4] Muladi dan Arif, Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,1992:79
[5] Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990: 435
[6] Arif, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hlm: 261
[7] Dadang Hawari. 1991. Perlindungan Korban Perkosaan. Solo. Hlm: 12
[8] Lampung Post, Selasa, 17 Mei 2005, hlm: 07, kolom 6-8
[9] Lampung Post, Kamis, 02 Desember 2004, hlm: 07, kolom 4-6
[10] Radar lampung, Sabtu 05 Maret 2005, hlm: 06, kolom: 6-7
[11] Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Cet.I, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997: 48
[12] Sayyid, Sabiq, alih bahasa, Fikih Sunnah, VI, PT.Al-Maarif, Bandung, tt: 118.
[13] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cet.1, UNDIP, Semarang, 1995: 66; Lihat juga S.R. Sianturi, 1996: 57
[14] Harun Al-Rasyid, Naskah UUD 1945 sesudah Tiga kali Di ubah oleh MPR, UI-Press, 2002: 23
[15] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998 : 53-54
[16] Muladi dan Arif, Barda Nawawi, Op Cit: 78
[17] R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Politeia, Bogor, 1980: 182
[18] J.E, Sahetapy, Op Cit, 1987: 42
[19] Soepomo, R, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Cet. II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977: 110-111.
[20] Surachman, Perlindungan Korban Kejahatan dikaitkan dengan Tuntutan pidana oleh Penuntut Umum, (makalah disampaikan pada seminar Pusat penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI di Jakarta) tanggal 08 Nopember 1999: 01
[21] B. Bosu. 1982. Sendi-sendi Kriminologi. Usaha Nasional. Surabaya. Hlm: 24
[22] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Suatu Kumpulan Karangan). Cet II, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993: 46; dan Lihat juga J.E, Sahetapy, Op Cit, 1987: 35; Lihat juga Edi Warman, Victimologi Kaitannya dengan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1999: 19-20
[23] Dep. Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, 5, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002, hlm: 238
[24] Abdul Rahman I Doi, Tindak Pidanan Dalam Syari’at Islam, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm: 31
[25] Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, Asy-Syamil Press, Bandung, 2001, hlm: 197; Lihat Muhammad Salim Al-Awwa, “The Basis Of Islamic Penal Legislation”, dalam Bassiouni, M. Cherif, The Islamic Criminal Justice System, London, Paris Rome- New York: Oceana publiation 1882, hlm: 14
Lihat: El Awa, 1882, hlm: 14
[26] Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, hlm: 2026-2027
[27] R. Soesilo, Op Cit: 182
[28] Barda Nawawi, Op Cit.1998: 55
[29] Kadri Husin, Pelaksanaan Penerapan Hak--Hak Tersangka/ Terdakwa Menurut KUHAP Dalam Proses Peradilan Pidana, Desertasi, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 1997: 90
[30] Mardjono Reksodiputro, Hak Azasi Manusia dalam Sisitim Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku ketiga, Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi UI-Jakarta, 1997, hal: 104
[31] Mardjono Reksodiputro, I b i d, hal: 104-105.
[32] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Suatu Kumpulan Karangan). Cet II, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993: 40; dan Lihat juga J.E, Sahetapy, Viktimologi Sebuah bunga rampai , Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987 : 35 ; Lihat juga Edi Warman, Victimologi Kaitannya dengan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah , Mandar Maju, Bandung, 1999 : 19-20
[33] Sahetapy, Op. Cit, hal: 7-8.
[34] Ediwarman, Op Cit, hal: 20-21. ; Lihat Juga, Zvonirmeir Paul Sparovic, Victimologi Studeis Of Victim, Zegrib, 1985: 29
[35] Sahetapy, Ed. Bunga Rampai Viktimasi, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum, Eresco, Bandung , 1995. hal . v - vi.
[36] Sahetapy, I b I d: vi-vii; Lihat: Resolusi Majlis Umum PBB No.40/34 tanggal 29 November 1985; Lihat juga, Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Adiya Bakti, Bandung, 998: 54
[37] Barda Naawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001: 49
[38] Reksodiputro, I b i d, hal.: 103-104 ; Lihat juga, Barda Nawawi Arief, Op Cit, 2001 , hal: 56-59
[39] Surachman, Perlindungan Korban kejahatan dikaitkan dengan Tuntutan Pidana oleh Penuntut Umum, (makalah disampaikan pada seminar Pusat penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI di Jakarta), Tanggal 08 Nopember 1999: 4-5;
[40] Muladi, Demokratisasi Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002: 62
[41] baca: Radar lampung tanggal 28 Nopember 2001 mengangkat berita tentang seorang anak berumur 12 tahun yang sekaligus anak angkatnya, diperkosa oleh ayah angkat berinisial CH, sekaligus juga sebagai kepala SLTP swasta di Bandar Lampung, yang telah berusia 48 tahun.
[42] Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Cet. I, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997:13-14
[43] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990: 673
[44] R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta Komentarnya Politeia, Bogor, 1980:181-182
[45] Made Darma Weda, Kriminologi, Cet.I. Raja Grafindo, Jakarta, 1996, hal: 71.
[46] Darma Weda, Ibid, hal. 72-73.
[47] Soedjono Djirosisworo, Ruang Lingkup Kriminologi, Armico, Bandung, 1985, hlm: 167.
[48] B. Bosu, Sendi-sendi Kriminologi, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, halm: 24 dan 39
[49] Santoso Op.Cit. Hal. 40-42.
[50] Majalah Wanita Kartini No.Melinium 2004 Februari, Maret 2000, hal: 33
[51] Soerjono Soekanto. 1983. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Alumni. Bandung. Hlm: 44
[52] Dep. Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, 5, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002, hlm: 238
Oleh: Khoirul Abror[1]
A. Pendahuluan
Kejahatan merupakan gejala sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu sampai sekarang; Perkembangan kejahatan yang terjadi melalui informasi berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik, atau apabila kita membaca statistik kriminal dapat ditemukan adanya peningkatan angka kejahatan dalam masyarakat; Peningkatan angka kejahatan ini tidak hanya terjadi pada peningkatan jumlah atau kuantitas kejahatan, melainkan juga terjadi peningkatan pada modus operandi atau teknik dan taktik dalam melakukan kejahatan.
Pemberitaan yang marak tentang terjadinya kejahatan dan catatan-catatan pada statistik kriminal, belum mampu menyampaikan semua jenis kejahatan yang terjadi; Artinya, masih banyak kejahatan yang terjadi yang tidak dilaporkan atau tidak berhasil dideteksi oleh media massa, yang menjadi angka gelap kejahatan (dark number of crime) sehingga kejahatan yang diketahui belum menunjukkan angka yang sesungguhnya.
Selain kejahatan yang non konvensional, dalam perkembangan kehidupan sehari-hari terjadi juga kejahatan konvensional, misalnya kejahatan terhadap harta kekayaan (pencurian, penggelapan, pemerasan, penipuan dan lain-lain), kejahatan terhadap tubuh dan nyawa, misalnya pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain serta berbagai jenis kejahatan dibidang kesusilaan.
Terjadinya berbagai jenis kejahatan di tengah masyarakat mengindikasikan, bahwa korban demi korban terus berjatuhan dengan kerugian dan penderitan yang sangat besar; Kerugian yang timbul sebagai akibat kejahatan, dapat terjadi dalam berbagai bentuk; Sahetapy mengemukakan kerugian-kerugian akibat suatu kejahatan sebagai berikut:
… Kerugian yang diderita oleh korban kejahatan bukan hanya dalam bentuk fisik seperti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menyembuhkan luka fisik, tetapi juga kerugian nonfisik yang susah bahkan tidak dapat dinilai dengan uang. Hilangnya keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup, dan kepercayaan diri karena kecemasan dan ketakutan dari bayang-bayang kejahatan yang selalu terbayang menghantui, adalah salah satu dari sekian banyak kerugian nonfisik yang bisa timbul[2]
Menurut Reksodiputro, penderita dan kerugian korban kejahatan dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: “(a) kerugian yang bersifat materiel (dapat diperhitungkan dengan uang) dan (b) kerugian yang bersifat immateriel misalnya perasaan takut, sedih, kejutan psikis dan lain-lain.[3] Bentuk-bentuk kerugian dan penderitaan korban ini dikemukakan juga oleh Muladi dan Arief sebagai berikut:
…Ternyata esensi kerugian…tidak hanya bersifat materiel atau penderitaan fisik saja, melainkan juga bersifat psikologis; Hal ini dalam bentuk trauma, kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat dan ketertiban umum; Sintom dan Sindrom tersebut dapat berupa kegelisahan, rasa curiga, sinisme, depresi, kesepian dan berbagai perilaku penghindaran yang lain.[4]
Mencermati ketiga pendapat yang dikemukakan tersebut, dapat diperoleh gambaran betapa besar penderitaan yang dialami seseorang atau kelompok orang yang menjadi korban kekerasan seksual karena selain penderitaan fisik, mereka juga mengalami penderitaan psikis yang sangat berat
Secara umum terjadinya kejahatan sangat merugikan masyarakat, khususnya korban kejahatan; salah satu jenis kejahatan yang terjadi yang sangat merugikan dan meresahkan masyarakat, ialah: tindak pidana perkosaan, lebih teragis lagi bila perkosaan itu dilakukan dikalangan keluarga sendiri (sebut saja: kekerasan seksual/ perkosaan sedarah/ Incest).
Incest adalah hubungan seksual antara dua orang saudara kandung atau yang masih terkait hubungan darah;[5] Sementara Barda Nawawi, mengemukakan bahwa: incest adalah persetubuhan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau samping sampai derajat ketiga;[6] Sedangkan Margaret Mead yang dikutip majallah Intisari (1992: 60) memaparkan incest “sebagai pelanggaran atas perbuatan seksual yang terlarang antara dua anggota keluarga inti, kecuali hubungan seksual suami isteri” seperti: hubungan seksual yang dilakukan antara Bapak dan anak, sesama saudara kandung, atau juga yang dilakukan oleh ibu dengan anaknya. Dampaknya dapat ditebak, bagaimana traumatisnya baik terhadap si pelaku maupun si korban, sehingga pelaku incest cenderung memilih bungkam daripada aibnya diketahui oleh public
Singgih Wijaya sebagaimana dikutip Inti Sari (1992:167) menegaskan bahwa tindakan incest dapat dibedakan kepada beberapa kategori:
1. Praktek Pedophilic Incest; yaitu dilakukan seorang ayah yang tidak matang sikoseksualnya atau mengalami kesulitan seksual; Untuk memenuhi fungsi seksualnya ia berhubungan dengan anak gadisnya;
2. Psycopathic incest adalah perilaku incest yang dilakukan seorang penderita sakit jiwa (psycopat) yang menganggap kebanyakan orang, termasuk anaknya sendiri sebagai objek seksual. Karenanya, pelaku incest semacam ini hampir tidak pernah menunjukan rasa bersalah atas perbuatannya, bahkan cenderung nekat, tak segan melakukan perkosaan terhadap orang lain yang bukan penghuni rumahnya; Seperti sepupuan atau terdapat hubungan saudara lainnya;
3. Family generated incest; seorang ayah yang fasif sementara sang isteri terganggu keperibadiannya; akibatnya, kehidupan perkawinan bagi mereka hambar dan anak-anak menjadi sasaran seksual; Si anak dijadikan semacam gundik ayahnya sendiri.
Tindakan incest bukanlah masalah perempuan semata, tapi problema yang harus dihadapi oleh seluruh masyarakat; Sedangkan dampak terjadinya incest ini terhadap si korban, selain memojokan kedudukan korban, juga si-korban menjadi rendah diri, pemalu, traumatis, bahkan beban penderitaan korban tidak akan sirna untuk selamanya, sehingga tidak menutup kemungkinan beban yang tidak dapat dipikul itu menyebabkan korban bunuh diri atau gila.[7]
Media Massa yang terbit di Lampung melalui pemberitaannya untuk kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, sangat membantu mengungkap kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Lampung, termasuk tindak pidana perkosaan sedarah didalamnya; Percaya atau tidak, kenyataan dan fakta membuktikan bahwa incest dapat terjadi dibelahan negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan mayoritas beragama.
Contoh Kasus: Di Lampung Umpamanya, Lampung Post 17 Mei 2005 menyajikan berita, (Ap 16 tahun) yang tinggal di Kabupaten Tanggamus mengaku empat kali diperkosa oleh Muk alias Black, umur 43 tahun dan telah mempunyai empat anak, yang menjabat sebagai sekdes sekaligus paman korban. Akibatnya Ap yang masih duduk dibangku kelas 3 SMP ini hamil 04 bulan, sementara Muk tidak mau bertanggung jawab[8]
Lampung Post memberitakan: seorang Bapak dari 7 anak berinisial Sug (43 th) memerkosa anak kandung sendiri Ina (17 th) yang waktu kejadian masih duduk di kelas 3 MTs lantaran naksir melihat kemontokan anaknya sndiri; Ironisnya pemerkosaan itu dilakukan selain di tempat tidurnya sendiri, juga dilakukan di tengah kebon dan diterlentangkan di atas tumpakan ilalang kering[9]
Radar Lampung 28 Nopember 2001 mengangkat berita tentang seorang anak TK berumur 12 tahun yang sekaligus anak angkatnya diperkosa oleh ayah angkatnya berinisial Ch umur 48 tahun.
Radar lampung, Sabtu 05 Maret 2005 menyajikan berita tentang ulah ayah tiri Ed (50 tahun) yang memperkosa anaknya (sebut saja Hf) selam 9 tahun lamanya, sejak Hf tersebut duduk dibangku SD, sehingga tidak terhitung lagi berapa kali Bapak meniduri Hf, imbasnya sang anak melahirkan anak laki-laki[10]
Pada beberapa kasus perkosaan yang dikemukakan di atas terdapat indikasi bahwa: kadang-kadang perkosaan dilakukan secara sadis dan tidak berprikemanusiaan. Mereka melakukan ancaman, perkosaan dan lainnya; Kerugian yang diderita korban berupa fisik atau matriel sebagaimana dialami korban kejahatan umumnya, dan nonfisik yaitu hilangnya keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup, trauma, rasa malu terhadap lingkungan karena perkosaan sangat berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.
Dampak yang sangat berat terhadap korban perkosaan ini, apabila terjadi perkosaan kadang-kadang muncul berbagai reaksi dari masyarakat; Salah satu reaksi masyarakat dapat dilihat pada apa yang dikemukakan oleh Topo Santoso, yang dikutip dari media massa saat terjadi perkosaan pada keluarga Acan di Bekasi, yang menunjukan kemarahan masyarakat misalnya: “Pemerkosa itu biadab, mereka seperti PKI, hukum mati saja, mereka harus di hukum seberat-beratnya”[11]. Selain reaksi masyarakat, Menteri Negara urusan peranan wanita pada kabinet pembangunan VI mengusulkan agar pelaku perkosaan dihukum dengan hukuman berat, ditayangkan wajahnya di Televisi dengan tujuan menimbulkan rasa malu bagi pelaku agar jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya, atau untuk mencegah pelaku potensial agar tidak melakukan perkosaan, bahkan sampai saat ini reaksi terhadap perkosaan masih terus diserukan oleh masyarakat.
Perkosaan seringkali mendapat reaksi keras dari masyarakat, namun tindak pidana ini semakin terjadi, jika peristiwa ini terjadi pada seorang gadis, remaja atau anak-anak, terlebih lagi bila terjadi terhadap keluarga sedarah (incest); seolah-olah peristiwa ini menghancurkan masa depan korban, karena pada umumnya masyarakat Indonesia masih mengagungkan nilai kegadisan, hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya dan agama; Dari segi agama perkawinan dianggap sesuatu yang suci, sehingga korban perkosaan dianggap telah ternoda sebelum memasuki perkawina suci. Lebih dari itu, jangankan melakukan perkosaan, bahkan zina (suka sama suka pun) dilarang dalam agama (Islam)[12]
B. Permasalahan
Korban kejahatan merupakan fenomena yang sangat menarik untuk dibahas, selama ini para ahli hukum pidana lebih banyak membahas kejahatan dalam kaitannya dengan pelaku, sedangkan korban kejahatan kurang mendapat perhatian, mereka seolah-olah dilupakan, padahal korban kejahatan termasuk korban perkosaan merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari pelaku kejahatan, karena dalam kasus perkosaan pasti ada korban yang sangat menderita baik fisik maupun psikis. Dalam penyelesaian tindak pidana (perkosaan) yang terjadi, korbanpun mempunyai peran yang sangat penting, yaitu dihadirkan sebagai saksi, tanpa peran korban kejahatan, peristiwa itu mungkin tidak bisa diperoses karena minimnya alat bukti, namun kadang-kadang dalam peroses peradilan, korban sering mangalami kekecewaan.
Berbicara mengenai hukum positif terutama hukum acara pidana, telah diatur berbagai macam ketentuan yang memberikan perlindungan bagi tindak pidana, yaitu diatur tentang hak-hak tersangka dan terdakwa, hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan, bahkan berhak untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma dari negara. Jika tersangka atau terdakwa mendapat perlakuan hukum yang bertentangan dengan hak-haknya, mereka dapat menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi nama baiknya melalui gugatan praperadilan, sedangkan korban yang sangat menderita baik fisik maupun psikis, masih merupakan persoalan yang kurang mendapat perhatian.
Bertolak dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahannya, yaitu:
Faktor apasajakah yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual Incest?; dan Apa sajakah dampaknya bagi korban perkosaan sedarah (Incest)? serta Bagaimana Teori Hukum Islam terhadap perkosaan Incest ini?
C. Teori Korban Perkosaan
Teori merupakan salah satu bagian yang memegang peranan penting dalam suatu penulisan ilmiah, karena teori yang digunakan dalam penulisan, dapat dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan dan menganalisis permasalahan yang diteliti secara sistematis; Permasalahan dalam tulisan ini berkaitan dengan perlindungan hukum bagi korban, khususnya korban perkosaaan sedarah, penyebab terjadinya kekerasan seksual incest dan dampaknya terhadap korban serta bagaimana bila dilihat dari kacamata agama (Islam).
Kaitan dengan perlindungan hukum bagi korban perkosaan sedarah, sebagai pisau analisis untuk membahas permasalahan dalam penulisan karya ilmiah ini, dapat dikemukakan beberapa teori:
1. Teori kontrol sosial
Muladi mengemukakan mengenai teori kontrol sebagai dasar perlindungan bagi warga negara:
Untuk mengedepankan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, …negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi; Maka dari itu bilamana terjadi kejahatan dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban …[13]
Makna dari kontrol sosial ini, bahwa negara harus melindungi dan memberikan rasa kedamaian dan kesejahteraan bagi warga negara; Perlindungan hukum bagi warga negara telah memiliki dasar konstitusional dalam hukum dasar, yaitu Undang-undang Dasar 1945; Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alenia ke IV ditegaskan bahwa “… Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia”; Tekad untuk melindungi warga negara ini diimplementasikan pada pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar 1945; Dalam Pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.[14] Lebih dari itu, perlindungan korban termasuk salah satu masalah yang juga mendapat perhatian dunia Internasional, yang menjadi Resolusi Majlis Umum PBB No.40/ 43 dalam Kongres VII PBB Tahun 1985 tanggal 29 November 1985 di Milan.[15]
Perlindungan hukum terhadap warga negara ini, dijabarkan dalam berbagai ketentuan hukum, yang diharapkan dapat diimplementasikan untuk melindungi masyarakat pencari keadilan dalam peroses peradilan pidana
Khusus dalam proses peradilan pidana, perlindungan hukum terhadap warga negara diwujudkan dalam ketentuan-ketentuan yang menyediakan sanksi pidana bagi pelaku pelanggaran hukum pidana, yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Walaupun penerapan sanksi ini sebagai salah satu wujud perlindungan hukum bagi masyarakat, namun pelaku kejahatan itu dalam proses peradilan perlu mendapat perlindungan hukum juga. Dengan demikian perlindungan hukum dalam proses peradilan pidana, ditujukan pada pelaku kejahatan, agar ia mendapat proses hukum yang adil, demikian pula korban kejahatan perlu mendapat perhatian dan perlindungan hukum karena terjadinya suatu kejahatan, menimbulkan dampak yang sangat merugikan masyarakat yang menjadi korban.
Kaitannya dengan perlindungan hukum bagi korban kejahatan, menurut Muladi dan Arief bahwa pelindungan hukum bagi korban kejahatan itu, dapat dijelaskan melalui dua argumen, yaitu pertama argumen kontrak sosial (Social contract argument) dan kedua argumen solidaritas (social solidarity argument), yang lengkapnya dapat dikutip sebagai berikut:
Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi; Maka dari itu bilamana terjadi kejahatan dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut
Argumen yang kedua menyatakan bahwa negara harus menjaga warga negaranya dalam hal memenuhi kebutuhannya atau apabila warga negaranya mengalami kesukaran, melalui kerjasama dalam masyarakat, berdasar atau menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara; Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak.[16]
Berbicara mengenai perlindungan hukum bagi korban kejahatan, khususnya korban perkosaan, maka dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat satu pasal yang secara khusus mengatur tentang perkosaan, yaitu Pasal 285 KUHP. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa: “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, di-hukum karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun”.[17] R.Soesilo, mengomentari pasal ini, memberikan kesan melindungi kepentingan perempuan atas tindakan perkosaan dari seorang laki-laki; artinya, laki-laki akan mendapat hukuman, bila melakukan perkosaaan terhadap seorang perempuan (yang bukan isterinya). Kesan ini diperoleh dari kata-kata “seorang perempuan yang dipaksa, sehingga tidak dapat melawan lagi dan terpaksa melakukan persetubuhan”
Mencermati apa yang dikemukakan di atas, maka diperoleh gambaran bahwa pasal ini dihadirkan dengan tujuan untuk melindungi perempuan dari tindakan perkosaan.
Terdapat pasal yang berkaitan dengan korban kejahatan dalam hukum pidana formil (Hukum Acara Pidana), namun pasal ini tidak menggunakan istilah korban, melainkan orang yang dirugikan dalam tindak pidana; Pasal ini mengatur perlindungan hukum secara umum terhadap orang yang dirugikan dengan adanya suatu tindak pidana, khusus korban perkosaan, tidak disinggung dalam KUHAP, tapi karena orang yang diperkosa adalah orang yang mengalami penderitaan, maka ia termasuk orang yang dirugikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dimengerti, bahwa penyidikan dan penyusunan surat dakwaan yang berkualitas sangat bermanfaat bagi korban pemidanaan, oleh hakim merupakan hal penting bagi korban juga, sebab lewat pemidanaan korban dapat menuntut kerugian yang dialaminya; Selain itu pemidanaan dapat memulihkan keseimbangan yang terganggu karena secara umum terjadinya perkosaan menimbulkan gangguan terhadap keseimbangan dalam masyarakat.
Menurut Andi Mattalata dalam Sahetapy diutarakan, kejahatan sangat merugikan korban sehingga penjatuhan pidana harus dilakukan dalam rangka memulihkan penderitaan yang dialami korban, selengkapnya pendapat Mattalata sebagai berikut:
Hakekat kejahatan seharusnya pula dilihat sebagai sesuatu yang merugikan korban, karena itu pidana yang dijatuhkan kepada pelanggar harus pula memperhatikan kepentingan dari si-korban dalam bentuk pemulihan kerugian yang dideritanya; Krugian yang harus dipulihkan tersebut tidak saja kerugian fisik, tetapi juga kerugian nonfisik. Pemulihan kerugian fisik bertujuan untuk menghilangkan trauma psikologi yang mungkin mencekam korban agar kepercayaan dirinya bisa pulih kembali sebagaimana sediakala[18]
Pemberian ganti kerugian terhadap korban perbuatan pidana bukan merupakan hal baru, dalam kehidupan hukum di Indonesia (kehidupan masyarakat tradisional) penggantian kerugian terhadap korban kejahatan sudah dilakukan pula, hal ini disimpulkan dari pendapat Soepomo sebagai berikut:
Hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum (rechts herstel) jika hukum diperkosa; Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, maka petugas hukum (kepala adat dan sebagainya) mengambil tindakan konkrit (adat reactie), guna membetulkan hukum yang dilanggar itu, umpama: pertama mengganti kerugian kepada orang yang terkena, dan kedua membayar uang adat atau korban pada persekutuan desa[19].
Kaitan ganti rugi dengan korban ini, Surachman menegaskan bahwa embrionya sudah dimulai sejak zaman Majapahit; Pada zaman ini berlaku hukum sbb:
Siapa yang berbuat salah dan kesalahannya itu menimbulkan kerugian bagi orang lain harus membayar ganti rugi. Pencuri dapat dihukum mati, tapi kalau ingin hidup si-pencuri harus menebus pembebasannya sebesar delapan ribu (delapan kati); Disamping harus membayar denda kepada raja sebesar dua puluh ribu (dua laksa) dan juga harus membayar ganti rugi (panglikawa) dua kali lipat kepada yang dicuri barangnya[20]
Tujuan pemberian ganti kerugian bagi korban dizaman tradisional dulu, sama jiwanya dengan penggantian kerugian sebagaimana yang diatur dalam hukum positif, yaitu untuk memulihkan penderitaan korban. Bila pelaku dijatuhi pidana untuk mengembalikan kerugian korban, maka ia telah melaksanakan tanggung jawabnya untuk memulihkan sebagian penderitaan yang diakibatkan, sehingga ia merasa terbebas dari jalan keliru yang telah ditempuhnya, bahkan hal ini dapat menghilangkan dendam korban.
b. Teori Penyebab Terjadinya Incest
Salah satu penyebab sumber terjadinya kejahatan (termasuk perkosaan sedarah) menurut Bonger: adalah kemiskinan dan kesengsaraan, artinya pengaruh keadaan terhadap jiwa manusia; kesengsaraan membuat fikiran menjadi tumpul, kebodohan dan ketidakberadaban. Karenanya Socrate menunjukan bahwa pendidikan yang dilaksnakan di rumah dan di sekolah memgang peranan yang sangat penting dalam membentuk keperibadian seseorang[21]
Tempat ibadah merupakan tempat yang suci yang mampu menghubungkan dan menenteramkan jiwa antara khalik dan makhluk, demikian juga tempat penggamblengan rohani marupakan sarana dan arena penerpaan jiwa yang mampu membendung dan menentramkan jiwa, oleh karena itu, minimnya pendidikan mental, kerohanian dan atau keagamaan dapat menjadi dasar penyebab terjadinya kejahatan Incest
c. Teori Tentang Korban (Victim)
Menurut deklarasi perinsip-perinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalah gunaan kekuasaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (1985) sebagaimana dikutif Arief Gosita, yang dimaksud dengan korban (victim) adalah “orang-orang yang secara pribadi atau kolektif telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau pengurangan substansial hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaraan-pembiaraan (omissions) yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan”[22].
d. Teori Hukum Islam
Hukum pidana Islam yang kerap kali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, hukum cambuk, hukuman mati umpamanya, seringkali hanya dilihat dari satu sisi saja, yaitu kemanusiaan menurut standar abad 20 yang dianggap paling beradab, tetapi tidak dilihat alasan, maksud, tujuan dan keefektifan hukuman tersebut.
Hukuman dalam Islam memiliki landasan yang kokoh yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, dan bukan berdasarkan dugaan manusia semata mengenai hal-hal yang dirasa adil; Dari sisi kepastian hukum juga jelas karena manusia dilarang mengubah hukuman yang diancamkan, jadi untuk tindak pidana yang diberi ancaman hukuman hadd tidak boleh ada perobahan, perbuatan yang dilarang tetap menjadi sesuatu yang diharamkan sampai kapanpun.
Kasus zina umpamanya, ditegaskan bahwa hukuman mati bagi pelaku yang muhsan (terikat perkawinan) hanya dapat dilakukan setelah melalui proses pembuktian yang sangat ketat, sehingga dimasa Nabi dan Sahabatpun penjatuhan hukum ini dapat dihitung dengan jari. Jelasanya alat bukti berupa empat orang saksi yang langsung melihat perzinaan itu tidaklah mudah; Apalagi dalam hukum pidana Islam juga ada ancaman pidana 80 kali cambuk bagi penuduh zina yang tidak ada bukti.
Al-Qur’an memang tidak menyebutkan secara khusus tentang perkosaan, akantetapi lebih menitik beratkan tentang zina, apakah dilakukan suka-sama suka oleh keduabelah pihak atau karena memaksa seseorang untuk melakukan zina; Artinya jika ada bukti bahwa kehamilan perempuan itu karena diperkosa, maka baginya tidak dikenakan hadd zina[23] sementara yang dikenakan hukuman adalah terhadap pelaku perkosaan, sama adakah si pemerkosa itu telah menikah atau belum. Oleh karena itu Allah melarang perbuatan zina sebagaimna dituangkan dalam QS.17-Al-isra’: 32 “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu merupakan suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk”
Zina berarti hubungan kelamin diantara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat hubungan tali perkawinan. Tidak menjadi masalah apakah salah seorang atau kedua belah pihak telah memiliki pasangan hidupnya masing-masing ataupun belum menikah sama sekali. Kata “Zina” ini dikenakan baik terhadap seorang atau kedua orang yang telah menikah ataupun belum; Islam menganggap zina bukan hanya sebagai suatu dosa yang besar, melainkan juga sebagai suatu tindakan yang akan membuka gerbang berbagai perbuatan memalukan lainnya, akan menghancurkan landasan keluarga yang sangat mendasar, akan mengakibatkan terjadinya banyak perselisihan dan pembunuhan, meruntuhkan nama baik dan kekayaan, serta menyebarluaskan sejumlah penyakit baik jasmani maupun rohani[24]
Ulama Fiqh mengemukakan batasan-batasan tertentu terhadap zina, karena hukuman yang sangat berat bagi pelakunya; Dalam Hukum Islam definisi zina sebagai suatu kejahatan, berbeda antara satu mazhab dengan mazhab lainnya; Suatu definisi yang paling komprehensif diberikan oleh mazhab Hanafi:
Zina adalah hubungan seksual yang dilakukan seorang laki-laki secara sadar terhadap seorang wanita yang disertai nafsu seksual dan diantara mereka tidak atau belum ada ikatan perkawinan secara sah atau ikatan perkawinan syubhat (yang diragukan keabsahannya, seperti nikah tanpa wali) atau tidak ada hubungan pemilikan (tuan dengan hambanya)[25]
Hubungan seksual yang diharamkan tersebut menurut Abdul Qadir Audah adalah memasukan penis meskipun hanya sebagian ke dalam vagina (iltiqa khitanain), baik hubungan itu menyebabkan sperma keluar atau tidak; Sementara menurut Ulama mazhab Maliki, Syafi’i, Hambali, Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, hubungan seksual tersebut tidak hanya dilakukan pada vagina, tetapi juga pada dubur wanita maupun dubur laki-laki. Menurut mereka, status hukum dari hubungan seksual yang dilakukan pada vagina dan dubur adalah sama; karena itu dikatakan zina[26]
Berpijak pada beberapa teori dan pemikiran yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi korban perbuatan pidana (korban perkosaan sedarah), maka untuk menghilangkan perbedaan penafsiran perlu dikemukakan pengertian terhadap beberapa variabel atau konsep sebagai berikut:
Korban kejahatan adalah seorang atau lebih yang menderita atau mengalami kerugian fisik, penderitaan mental, dan kerugian ekonomi atau finansial sebagai akibat adanya suatu kejahatan; Tulisan ini difokuskan pada permasalahan yang berkaitan dengan korban perkosaan sedarah (incest), sehingga perlu diberikan pengertian secara khusus apa yang dimaksud dengan korban perkosaan sedarah (incest). Korban perkosaan sedarah adalah, seorang perempuan baik anak-anak maupun orang dewasa antara dua orang saudara kandung atau yang masih terkait hubungan darah “yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa untuk bersetubuh diluar perkawinan”[27]; Termasuk korban dalam pengertian ini meliputi orang tua dan keluarga dekat atau orang-orang yang menjadi korban, dan juga orang-orang yang menderita kerugian karena berusaha mencegah terjadinya korban[28].
Tulisan ini menggunakan viktimologi sebagai dasar untuk melakukan kajian terhadap korban; Dimaksud dengan viktimologi adalah; suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah pengorbanan manusia atau harta benda sebagai suatu kenyataan sosial; Dengan viktimologi akan dikaji bagaimana penyelesaian tindak pidana perkosaan dari sudut kepentingan korban dalam rangka menegakan hukum, dan keadilan serta hak-hak asasi manusia. Yang dimaksud dengan peradilan pidana adalah suatu rangkaian proses untuk menyelesaikan tindak pidana yang dimulai dari tahap penyidikan, penuntutan sampai pemeriksaan pengadilan hingga penjatuhan pidana, serta Lembaga Pemasyarakatan, yang kesemuanya diperlukan keterpaduan dalam rangka gerak masing-masing subsistem kearah tercapainya tujuan bersama[29].
Berpijak dari uraian di atas, yang dimaksud dengan “Derita Korban Perkosaan sedarah (incest)” adalah, “Penyidikan terhadap suatu peristiwa kekerasan seksual sedarah (Perkosaan/ Incest) sebagai pelanggaran atas perbuatan seksual yang terlarang antara dua anggota keluarga inti yang terjadi dikalangan rumah tangga yang masih mempunyai hubungan sedarah”, kecuali hubungan seksual suami isteri” seperti: hubungan seksual yang dilakukan antara Bapak dan anak, Paman dengan ponakan, sesama saudara kandung, atau juga yang dilakukan oleh ibu dengan anaknya
D. Viktimologi dan Perkembangannya
1. Arti Viktimologi
Mannhaeim sebagaimana dikutip oleh Reksodiputro[30] mengatakan sering tidak jelas yang diperkirakan semula siapa yang penjahat dan siapa yang korban; Kadang-kadang hanya soal kebetulan saja yang menentukan siapa yang jadi pelaku delik dan siapa menjadi korban delik; Sering pula peranan itu bisa bertukar seperti pada seorang penipu yang dibunuh oleh korbannya; Lebih lanjut Reksodiputro mengutip tentang korban, ia membedakan 5 macam korban berdasarkan derajat kesalahannya sebagai berikut:
1. Yang sama sekali tidak bersalah
2. Yang jadi korban karena kelalaiannya
3. Yang sama salahnya dengan pelaku
4. Yang lebih bersalah daripada pelaku; dan
5. Yang korbannya adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan).
Melalui penggolongan korban berdasarkan derajat kesalahannya ini, dapat dikatakan bahwa kadang-kadang korbanlah sebagai faktor penentu terjadinya suatu tindak pidana, atau dengan perkataan lain bahwa korbanlah yang membawa dirinya ke-dalam situasi yang riskan yang dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana. Jika demikian kondisinya, maka tidak adil dan proporsional bila pertanggungjawaban pidana semata-mata dibebankan kepada pelaku
Salah satu peran korban yang berkaitan dengan tindak pidana yang dapat berpengaruh pada semakin berkembangnya tindak pidana dalam masyarakat, yaitu tidak dilaporkannya tindak pidana yang di-alaminya kepada aparat penegak hukum
Tidak dilaporkannya tindak pidana oleh masyarakat atau korban ini sangat mempengaruhi angka gelap (dark number) kejahatan yang terjadi; Kurang adanya minat masyarakat atau korban untuk melaporkan tindak pidana yang terjadi dipengaruhi oleh berbagai macam alasan, yaitu mungkin korban takut atau enggan berhadapan dengan penegak hukum, atau karena korban tidak mengetahui tentang hak-haknya atau karena korban sendiri merasa sekaligus sebagai pelaku, sehingga takut digolongkan sebagai tersangka manakala ia melaporkan peristiwa yang terjadi pada penegak hukum.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro sebagai penyebab korban tidak melaporkan kejahatan yang dialaminya sebagai berikut:
1. Meskipun tahu menjadi korban, tetapi tidak bersedia melapor karena:
a. Menganggap polisi tidak efisien atau tidak akan mempedulikan laporan
b. Menganggap peristiwa itu sebagai “urusan pribadi” karena:
1) Akan menyelesaikan di luar pengadilan, atau
2) Mereka malu dan tidak bersedia menjadi saksi (seperti dalam kasus kesusilaan atau mengalami penipuan karena kebodohan atau ketamakan);
2. Korban tidak mengetahui bahwa telah mengalami peristiwa kejahatan (misalnya dalam hal penipuan yang “canggih”);
3. Korban yang sifatnya abstrak (abstract victim) dan karena itu sukar ditentukan secara jelas (misalnya masyarakat konsumen);
4. Korban mengalami peristiwa kejahatan, karena sendiri terlibat dalam kejahatan (victims of their own criminal activity; misalnya penipuan dalam perdagangan narkotika);
5. Secara “resmi” tidak terjadi korban kejahatan, karena adanya kewenangan “deskresi” (misalnya dari polisi, hal ini menyangkut kebijakan penegakan hukum).[31]
Pengkajian tentang hubungan korban dan pelaku kejahatan sangat penting dalam upaya penanggulangan kejahatan; Penanggulangan kejahatan tidak bisa dipisahkan dari peran korban dalam terjadinya tindak pidana; Peran korban ini dapat dijadikan sebagai alasan untuk mempertimbangkan hal-hal yang meringankan maupun memberatkan hukumannya; Pertimbangan peran korban dalam tindak pidana juga dapat dijadikan alasan untuk membebaskan pelaku dari pertanggungjawaban pidana jika dapat dibuktikan korban sebagai orang yang bersalah bukan terdakwa; Selain dibutuhkan perhatian terhadap pelaku, korbanpun perlu mendapat perhatian juga; Perhatian terhadap korban ini di pengaruhi oleh pemikiran bahwa dengan terjadinya suatu tindak pidana maka menimbulkan kerugian besar bagi korban, sehingga perlu dilindungi kepentingannya yang telah dirugikan melalui berbagai bentuk tindakan, misalnya pemberian ganti kerugian, pengakuan dan pelayanan yang baik agar ia tidak menjadi korban lagi.
Perhatian terhadap korban sebagai akibat tindak pidana, dapat dikaji secara khusus melalui viktimologi; Yang dimaksud dengan viktimologi, secara etimologis viktimologi berasal dari kata latin “victima” yang berarti korban dan “logos” yang berarti ilmu.
Arif Gosita memberikan pengertian terhadap viktimologi: adalah suatu pengetahuan ilmiah/ studi yang mempelajari suatu viktimasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.[32] Sahetapy memberikan pengertian terhadap viktimologi dengan menyatakan bahwa viktimologi adalah ilmu atau disiplin yang membahas permasalahan korban dalam segala aspek dan vasetnya[33]
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa: viktimologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari atau mengkaji permasalahan korban kejahatan atau penderitaan manusia sebagai akibat terjadinya suatu kejahatan.
2. Perkembangan Viktimologi
Viktimologi pada awalnya merupakan bagian dari kriminologi, tapi karena kriminologi lebih memfokuskan perhatian pada pelaku kejahatan, dan bagaimana menanggulangi kejahatan yang terjadi, maka timbul keinginan untuk memisahkan viktimologi dari kriminologi, agar melalui viktimologi dapat dikaji permasalahan korban kejahatan secara khusus. Timbulnya viktimologi ini karena para ahli mulai menyadari bahwa tidak adil bila dalam peradilan pidana hanya pelaku tindak pidana saja yang mendapat perhatian terhadap hak-haknya, sedangkan korban tindak pidana kurang mendapat perhatian; kondisi ini mendorong adanya pertumbuhan dan perkembangan viktimologi.
Perkembangan viktimologi dalam mempelajari permasalahan koraban dapat terjadi dalam tiga fase sebagaimana dikemukakan Separovic (1985: 29) yang dikutip oleh Ediwarman sebagai berikut:
Pada awalnya viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja; Pada fase ini dikatakan sebagai Penal or special victimolog
Pada fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan saja, tetapi juga meliputi korban kecelakaan; Pada fase ini disebut sebagai general victimology
Fase ketiga viktimologi telah berkembang lebih luas lagi yaitu mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasan dan hak-hak asasi manusia, fase ini disebut new victimolog[34]
Pandangan ini menunjukkan adanya perkembangan viktimologi dalam mempelajari pemasalahan korban; Pada mulanya pengkajian viktimologi hanya difokuskan kepada korban kejahatan, sedangkan pada fase kedua sudah agak meluas kajian viktimologi yaitu terhadap korban kecelakaan, dan pada fase ketiga kajian viktimologi sudah berkembang, yaitu sudah sampai pada pengkajian tentang permasalahan korban yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan dan hak asasi manusia, atau dengan kata lain viktimologi telah mempelajari permasalahan korban seluas-luasnya.
Berkaitan dengan perkembangan viktimologi ini dikemukakan oleh Sahetapy sebagai berikut:
Paradigma viktimologi tidak hanya berkaitan dengan kejahatan dalam artian klasik saja, tetapi juga menyangkut perbuatan-perbuatan lain di luar bidang hukum pidana; Abuse of power jelas mengindikasikan bahwa perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasan, berarti dapat juga dilakukan oleh suatu kekuasan yang sah; Itu berarti bahwa memiliki kekuasan tidak dengan sendiri berarti memiliki kebenaran; Jadi rakyat bisa saja dikorbankan untuk kepentingan penguasa atau kepentingan yang berkuasa tanpa memperhatikan atau mengindahkan atau menghormati norma-norma hukum dan atau moral[35]
Pendapat Sahetapy ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Separovic bahwa kajian viktimologi dalam perkembangannya tidak hanya terbatas pada pengkajian terhadap korban kejahatan dalam lingkup hukum pidana saja, melainkan sudah berkembang hingga pengkajian korban dalam dimensi yang lebih luas, seperti koban tindak pidana lingkungan hidup (koban pencemaran lingkungan), korban ketidak adilan sebagai akibat tidak ditegakannya hukum dengan adil dan benar, sehingga viktimisasi itu dapat meliputi baik viktimisasi secara fisik, psikis atau mental berkaitan dengan berbagai perbuatan.
Perbuatan yang dapat menimbulkan korban ini dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok tertentu atau komunitas tertentu, bahkan perbuatan ini dapat dilakukan oleh pihak penguasa; Bila viktimisasi ini dilakukan oleh penguasa, maka korban yang ditimbulkan dapat terdiri dari perorangan, beberapa orang atau kelompok orang tertentu
Melihat demikian luasnya kajian viktimologi Sahetapy mengatakan bahwa viktimisasi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Viktimisasi politik. Dalam katagori ini dapat dimasukkan aspek penyalahgunaan kekuasan, perkosaan hak-hak asasi manusia, campur tangan angkatan bersenjata di luar fungsinya, terorisme intervensi dan peperangan lokal atau dalam skala internasional;
2. Viktimisasi ekonomi, terutama dimana ada kolusi antara penguasa dan konglomerat, produksi barang-barang yang tak bermutu atau yang merusak kesehatan, termasuk di dalam aspek ini pencemaran lingkungan hidup dan rusaknya ekosistem;
3. Viktimisasi keluarga, seperti perkosaan termasuk diantaranya anggota keluarga, penyiksaan terhadap anak atau istri dan menelantarkan kaum manula atau orang tuanya sendiri;
4. Viktimisasi media, dalam hal ini dapat disebut penyalahgunaan obat bius, alkoholisme, malpraktek di bidang kedokteran, eksprimen kedokteran yang melanggar (etik) prikemanusiaan;
5. Viktimisasi yuridis, dimensi ini cukup luas baik yang menyangkut aspek peradilan (dan lembaga pemasyarakatan) maupun yang menyangkut dimensi diskriminasi perundang-undangan termasuk menerapkan hukum kekuasaan, kematian perdata dan stigmatisasi kendatipun sudah diselesaikan aspek peradilannya.[36]
Perlu ditegaskan juga bahwa masalah perlindungan korban, sebagaimana ditegaskan oleh Barda Nawawi, merupakan 2 (dua) dari 1 (satu) mata uang yang sama. Artinya lanjut Barda, kedua-duanya tidak bisa dipisah-lepaskan; Lebih lanjut Barda mengutip pernyataan Zvonimir-Paul Sparovic, “The rights of the Victim are a Componen part of the consept of huuman right” dalam bukunya (Victimology, 1985: 43); Jadi, masalah perlindungan hak korban ini pada hakikatnya juga merupakan bagian dari masalah perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)[37]
Mengingat viktimologi sangat luas dalam melakukan pengkajian terhadap korban, baik korban kejahatan maupun korban yang berdimensi luas seperti dikemukakan sebelumnya maka dalam tulisan ini dilakukan pengkajian secara viktimologis juga, tapi dikhususkan pada viktimisasi keluarga, atu lebih khusus lagi terhadap korban perkosaan sedarah (incest).
Dilihat dari segi perkembangannya, maka cikal bakal viktimologi sudah berkembang abad ke-20 yaitu sejak tahun 1941 melalui tulisan Hans von Hentig yang berjudul “Remarks on the Interaction of Perpetrator and victim”. Tulisan ini menganalisis tentang hubungan interaksi antara pelaku dan korban perbuatan pidana, sehingga tulisan ini dapat membuka cakrawala yang lebih luas bahwa dalam suatu perbuatan pidana terdapat hubungan inter aksi antara pelaku dan korban; hal ini mengindikasikan bahwa terjadinya tindak pidana tidak bisa dipandang lepas dari korban. Sebelum tahun 1941 yaitu pada tahun 1937 Benyamin Mendelshon sudah menulis juga tentang hal yang sama, yaitu ia sudah mempersoalkan hubungan pelaku dan korban dalam terjadinya suatu kejahatan, tetapi baik Mendelshon maupun Hentig pada tahun 1937 maupun tahun 1941 belum mempergunakan istilah viktimologi.
Istilah viktimologi baru digunakan Mendelshon pada tahun 1947 melalui tulisannya yang berjudul “The science of the victim” dengan nama victimology. Dengan demikian dapat dikatakan Mendelshonlah orang pertama yang mempergunakan istilah viktimologi, dan Mendelshon juga yang merupakan orang pertama yang mengemukakan ide untuk memisahkan viktimologi dari kriminologi
Ide pemisahan viktimologi dari kriminologi ini meskipun mendapat tantangan, namun upaya untuk mengembangkan pengkajian korban terus berkembang melalui berbagai diskusi, simposium, maupun tulisan-tulisan ilmiah seperti tulisan Hentig pada tahun 1949 (The Criminal and His Victim New Haven) kemudian Mendelshon (“Victimology“ 1956) dan Wolfgang (Patters in Criminal Hommiside, Philadelphia 1958) serta Negel (Victimology Tijdschrift von Strafrecht 1959)
.
Melalui berbagai tulisan ini dapat membantu perkembangan viktimologi sehingga pada tahun 1973 melalui simposium pertama tentang viktimologi, viktimologi dapat diterima sebagai suatu studi ilmiah yang memberi perhatian terhadap permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban kejahatan. Setelah simposium pertama ini, selanjutnya secara berkala dilakukan simposium lainnya yaitu pada tahun 1976 di Boston, simposium ketiga dilakukan di Munster tahun 1979 dan berturut-turut simposium ini dilakukan hingga simposium kedelapan di Australia tahun 1994.
Perkembangan viktimologi dalam membahas permasalahan korban pada awalnya hanya meliputi korban kejahatan konvensional saja, dan dalam perkembangan selanjutnya viktimologi sudah mulai membahas juga kejahatan nonkevensional atau sudah mencakup dimensi yang lebih luas; Hal ini dikemukakan Reksodiputro yang selengkapnya dapat dikutip sebagai berikut:
Kalau semula diskusi dan pembicaraan tentang korban kejahatan hanya difokuskan pada bentuk-bentuk kejahatan konvensional (pembunuhan, perkosaan, penganiayaan berat, dan perampokan), maka dalam kongres PBB di atas dibicarakan pula dimensi baru kejahatan dalam konteks pembangunan
Timbul disini korban jenis baru yaitu korban dari kejahatan yang pelakunya adalah badan hukum (koorporasi) pengusaha yang mempunyai kedudukan terhormat dalam masyarakat (penjahat kerah putih, white collor criminals) ataupun mereka yang mempunyai kuasa politik (publik power)[38]
Berdasarkan pendapat ini dapat dikatakan bahwa viktimologi dalam perkembangannya sudah menjangkau semua permasalahan korban, yaitu viktimologi tidak hanya membahas korban dalam arti klasik, tapi telah membahas korban dalam dimensi lain yaitu korban kejahatan nonkonvensional.
Kongres PBB ketujuh Tanggal 29 Nopember 1985 di Milan Italia, Majelis PBB menyetujui sebuah deklarasi untuk melindungi para korban kejahatan; Deklarasi ini dianggap sebagai magna Carta bagi korban kejahatan, yang dikenal sebagai Declaration of Basic Principles of Justice and Abuse of Power (Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasan). Deklarasi ini terdiri dari beberapa butir yang dapat dikutip sebagai berikut:
Korban harus diperlakukan dengan dihibur hatinya dan di hormati martabatnya dan ia berhak atas ganti rugi yang segera dari akibat deritanya;
Mekanisme administratif dan justisial harus dibentuk dan diberdayakan agar para korban dapat memperoleh ganti rugi;
Korban harus diberi tahu atas perannya, pengaturan waktu dan kemajuan perkaranya;
Pandangan dan keinginan korban harus dikemukakan pada setiap tahapan proses untuk dipertimbangkan;
Langkah-langkah harus diambil untuk mengurangi se-minimal mungkin kelambatan dan ketidak nyamanan para korban, untuk menjamin kebebasan pribadinya, dan untuk melindunginya dari intimidasi dan pembalasan;
Pelaku tindak pidana, sedapat mungkin memberi ganti kerugian dalam bentuk restitusi kepada korban, keluarga atau yang menjadi tanggungannya. Dalam hal petugas pemerintah telah melanggar hukum pidana, korban harus mendapat ganti rugi dari negara;
Dalam hal ganti rugi dalam bentuk restitusi tidak mungkin diperoleh dari pelaku tindak pidana, sedangkan kerugian fisik maupun kerugian mentalnya cukup besar, negara harus menyediakan ganti rugi dalam bentuk kompensasi itu untuk korban dan keluarganya;
Korban harus menerima bantuan sosial, psikologikal, medikal, dan materi yang diperlukan baik melalui saluran pemerintah, maupun melalui saluran kegiatan sukarela;
Polisi, pengadilan, pekerja sosial dan petugas yang relevan harus mendapat perhatian agar lebih tanggap akan kebutuhan korban;
Negara harus mempertimbangkan agar norma-norma yang melarang penyalah gunaan kekuasan, termasuk kekuasan ekonomi dan kekuasaan politik untuk dimasukan kedalam perundang-undangan nasionalnya. Disamping itu, negara harus menyediakan upaya-upaya untuk korban atas penyalahgunaan tersebut, termasuk penggantian kerugian dalam bentuk restitusi dan kompensasi.[39]
Muladi juga menegaskan bahwa pada Tahun 1993, Sidang Umum PBB mengadopsi deklarasi yang menentang kekerasan terhadap wanita yang dirumuskan pada Tahun 1992 oleh Komisi Status Wanita PBB; Pada Pasal 1 dan 2 dinyatakan (diantaranya mencakup) “perbuatan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan terhadap wanita baik pisik, seksual, psikis, pemaksaan untuk melacur …… dll”.[40]
Deklarasi ini menghendaki agar korban kejahatan baik kejahatan konvensional maupun nonkonvensional mendapat perhatian dan perlakuan yang wajar dari penegak hukum maupun pemerintah, serta meringankan beban mereka melalui bantuan sosial, psikologikal, medikal, dan bantuan materi melalui restitusi dan kompensasi.
Kongres PBB ke-delapan di Havana-Kuba, pada Tahun1990 berhasil dibuat pedoman bagi para jaksa dalam memberi perlindungan bagi korban kejahatan; Pedoman ini dikenal sebagai “Guidelines on the Role of Prosecutors” yang tediri dari 22 butir; Dalam butir 2 b, dikatakan bahwa para jaksa harus diberi kesadaran atas tugas-tugas ideal dan etika jabatannya, atas perlindungan hak-hak tersangka dan korban; Dalam butir 13 b, dikatakan dalam menjalankan tugasnya para jaksa harus memperhatikan kedudukan tersangka dan korban dengan wajar; dan dalam butir 18 dikatakan dalam hal jaksa hendak menghentikan proses penuntutan karena alasan teknis atau karena asas oportunitas, jaksa harus memberikan pertimbangan yang tepat dengan sepenuhnya menghargai para tersangka dan para korban.
Kongres PBB ini berlangsung terus, pada kongres ke-sembilan di Kairo, PBB menyerukan kepada semua negara anggota agar dalam penyelenggaraan hukum nasionalnya dapat berupaya untuk memberikan perhatian dan bantuan kepada korban kejahatan dan keluarganya
Di Indonesia viktimologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan pula; Beberapa ahli hukum pidana Indonesia yang dapat digolongkan sebagai pelopor dalam pengembangan viktimologi yang menaruh perhatian terhadap permasalahan korban kejahatan antara lain J.E. Sahetapy, Mardjono Reksodiputro, Arif Gosita, Muladi, Harkristuti Harkrisnowo dan masih banyak lagi Guru Besar Hukum Pidana yang menaruh perhatian terhadap permasalahan korban ini, seperti Barda Nawawi, demikian juga perhatian dari ahli hukum lainnya..
Perkembangan viktimologi ini dapat dilihat dari berbagai kegiatan yang berkaitan dengan permasalahan korban kejahatan, misalnya seminar viktimologi di Surabaya tanggal 23 Maret 1985, yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Kriminologi Fakults Hukum Airlangga dengan Yayasan Asia-Jakarta dengan Thema: Relevansi viktimologi di Indonesia dewasa ini, dengan melibatkan pembicara baik dari dalam maupun luar negeri. Sebelum Tahun 1985, telah dilakukan juga seminar tentang viktimologi yang dapat dilihat sebagai awal pengembangan viktimologi yaitu tahun 1976.
Di Tahun 1993 atas kerjasama Universitas Airlangga dengan Yayasan Miyasawa Foundation, Asia Crime Prevention Foundation (ACPF) dan Masutoto Foundation diselenggarakan seminar dengan Thema: Viktimologi dalam Rangka Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua. Pada tahun 1994 Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum Golongan Karya (LPPH-Golkar) menyelenggarakan seminar dengan Thema: Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan. Pembicara dalam seminar ini semua berasal dari dalam negeri; pada tahun yang sama atas kerjasama Fisip UI dan Polda Metro Jaya diselenggarakan seminar tentang pencegahan terjadinya korban kejahatan. Pada Tahun 1999 dilakukan juga suatu seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Republik Indonesia dengan Thema: Perlindungan Korban Kejahatan dikaitkan dengan Tuntutan Pidana oleh Penuntut Umum.
Selain seminar-seminar yang dikemukakan, sudah muncul juga berbagai macam tulisan maupun hasil-hasil penelitian dari ahli hukum atau komentar-komentar tentang hal-hal yang berkaitan dengan korban kejahatan, sebagai indikasi pengembangan viktimologi di Indonesia
F. Tindak Pidana Perkosaan (Incest)
Perkosaan merupakan suatu tindak pidana yang sangat meresahkan masyarakat, begitu orang membaca atau mendengar berita-berita pemerkosaan timbul kecemasan, ketakutan dan kekhawatiran terutama bagi mereka yang mempunyai anak perempuan, sehingga orang berupaya menghindari tindak pidana ini. Walaupun sudah ada upaya untuk menghindari tindak pidana ini, namun tindak pidana pemerkosaan masih terjadi dalam kehidupan masyarakat
Mulyana W. Kusuma sebagaimana dikutip Topo Santoso, dipaparkan berbagai mitos dan fakta sekitar perkosaan sebagai berikut:
Dalam perspektif mitos:
Perkosaan merupakan tindakan implusif dan didorong oleh nafsu birahi yang tidak terkontrol;
Korban diperkosa oleh orang asing (tidak dikenal korban), orang sakit jiwa, yang mengintai dari kegelapan;
Perkosaan hanya terjadi diantara orang-orang miskin dan tak terpelajar;
Perempuan diperkosa karena berpenampilan yang mengundang perkosaan (berpakain minim, berdandan menor, berpenampilan penggoda dan sebagainya);
Perkosaan terjadi ditempat yang beresiko tinggi; di luar rumah, sepi, gelap dan di malam hari;
Perempuan secara tersamar memang ingin diperkosa.
Sementara faktanya:
Perkosaaan bukanlah nafsu birahi, tidak terjadi seketika. Ia merupakan kekerasan seksual dan manifestasi kekuasaan yang ditujukan pelaku atas korbannya. Sebagian perkosaan merupakan tindakan yang direncanakan;
Banyak pelaku perkosaan adalah orang yang dikenal baik oleh korban. Pada kenyataannya, banyak perkosaan bisa menimpa siapa saja, tidak peduli cantik atau tidak; semua umur, semua kelas sosial;[41]
Perkosaan tidak ada hubungannya dengan penampilan seseorang. Perkosaan dapat terjadi pada anak-anak dibawah umur dan juga pada orang lanjut usia;
Hampir setengah dari jumlah perkosaan terjadi dirumah korban, disiang hari;
Korban perkosaan tidak pernah merasa senang dan tidak mengharapakan perkosaaan. Trauma perkosaan sulit hilang seumur hidup.[42]
Mencermati apa yang dipaparkan di atas maka dapat diketahui perkosaan kadang-kadang terjadi semata-mata bersumber dari pelaku sendiri, yaitu karena didorong oleh nafsu birahi yang tidak terkontrol, namun terkadang juga dipengaruhi oleh penampilan korban yang menimbulkan nafsu pelaku. Dari sudut korban, perkosaan tidak hanya terjadi pada orang dewasa, anak-anakpun menjadi korban tindak pidana perkosan; dari sisi pelaku perkosaan dilakukan oleh pejabat maupun penganggur, orang yang belum dikenal atau terkadang orang yang sangat dekat hubungannya dengan korban, bahkan hubungan sedarah sekalipun (Incest).
Perkosaan sudah mendapat legitimasi agar pelakunya diproses menurut hukum; Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana perkosaan dimuat dalam Bab XIV buku II di bawah judul: Kejahatan terhadap Kesusilaan. Kejahatan kesusilaan ini terdiri dari berbagai jenis tindak pidana; Pengaturannya mulai dari Pasal 281-303 dan Bab VI buku II Pasal 532- 544.
Tindak pidana ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Perbuatan yang berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan di muka umum, yang berhubungan dengan benda-benda yang melanggar kesusilaan (bersifat porno: Pasal 281-283);
Perzinahan, perkosaaan, yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296);
Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);
Berkaitan dengan pengobatan untuk menggugurkan kehamilan (Pasal 299);
Yang berhubungan dengan minuman yang memabukkan (Pasal 300);
Menyerahkan anak untuk mengemis dan lain-lain (Pasal 301);
Penganiayaan terhadap hewan (Pasal 302);
Perjudian (Pasal 303 dan 303 bis);
Pasal-pasal yang berkaitan dengan pelanggaran yaitu:
Mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal 532-535);
Berkaitan dengan mabuk dan minuman keras (Pasal 536-539);
Yang berkaitan dengan tindak pidana susila terhadap hewan (Pasal 540, 541, 544);
Khusus mengenai tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP sebagai berikut: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidan penjara paling lama 12 tahun” (penjara).
Definisi tentang perkosaan dalam KUHP tidak ditemukan, oleh karena itu untuk memahami apa yang dimaksud dengan perkosaan dapat dikemukakan pengertian dari kamus dan pendapat sarjana.
Kamus besar Bahasa Indonesia menegaskan bahwa “perkosa berarti paksa, kekerasan, gagah, kuat, perkasa”; Memperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi[43] Dalam kamus hukum edisi ke-lima ditegaskan bahwa, perkosaan artinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan di luar perkawinan untuk bersetubuh dengan dia
Wirjono Prodjodikoro memberikan komentar berkaitan dengan perkosaan menyatakan bahwa istilah verkrachting diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai perkosaan, namun ia katakan bahwa terjemahan ini kurang tepat karena verkrachting artinya perkosaan untuk bersetubuh, sedangkan dalam bahasa Indonesia perkosaan memiliki makna yang luas belum menuju pada perkosaan untuk bersetubuh. Oleh karena itu maka kualifikasi tindak pidana dalam Pasal 285 KUHP harus perkosaan untuk bersetubuh
R. Soesilo mengomentari Pasal 285 KUHP dengan menyatakan suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai perkosaan, apabila perbuatan itu dilakukan terhadap perempuan atas paksaan sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya perempuan yang dipaksa tidak dapat melawan lagi dan terpaksa mau melakukan persetubuhan. Persetubuhan menurut Soesilo yaitu “peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk kedalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air manie”[44]
Mencermati komentar Soesilo ini dapat dikatakan bahwa ia hanya melihat adanya suatu tindak pidana perkosaan dari sisi yuridis semata, yaitu jika perbuatan itu mencocoki rumusan Pasal 285 KUHP, yang antara lain adanya penggunaan kekerasan dalam melakukan persetubuhan dan air mani harus tumpah dalam vagina wanita.
Sahetapy sebagaimana dikutip Made Darma Weda mengomentari perkosaan dari sisi yang lain, yaitu bahwa consent atau persetujuan sangat menentukan untuk mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai perkosaan atau tidak. Untuk lebih jelasnya dapat dikutip pendapat Sahetapy sebagai berikut: “pengertian perkosaan secara kriminologis didasarkan atas tidak adanya consent dari pihak wanita. Penetrasi tidak harus selalu melalui vagina tetapi dapat pula melalui mulut dan anus”[45]
Pendapat ini mirip dengan pengertian perkosaan yang dirumuskan dalam The Ensiklopedia American Internasional Edition, volume 23 yaitu: perkosaan (rape) dalam hukum adalah suatu perbuatan seksual yang bertentangan dengan hukum, yakni terjadi persetubuhan tanpa adanya persetujuan dari korban.
Mencermati pengertian perkosaan secara kriminologis sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa suami dapat melakukan perkosaan terhadap isteri bila tidak ada persetujuan dari isteri dalam melakukan hubungan seks (bila dipaksa); tapi perbuatan ini tidak bisa dihukum, karena KUHP tidak menganut perkosaan dalam artian kriminologis melainkan yuridis. Olehkarena itu, jika persetubuhan dilakukan suami yang didahului dengan kekerasan, tidak bisa digolongkan sebagai perkosaan, mungkin bisa digolongkan sebagai penganiayaan yang bisa dihukum berdasarkan Pasal 351 KUHP
Perkosaan dapat terjadi dalam berbagai jenis; Jenis-jenis perkosaan menurut Steven Box, sebagaimana dikutip Made Darma Weda yaitu:
“Sadistic rape” yaitu perkosaan yang dilakukan secara sadistik. Si pelaku mendapatkan kepuasan seksual bukan karena bersetubuh, tetapi karena perbuatan kekerasan terhadap “ganitalia” dan tubuh sikorban;
“Anger rape” merupakan ungkapan perkosaan yang karena kemarahan dilakukan dengan sifat berutal secara fisik. Seks menjadi senjatanya dan dalam hal ini tidak diperolehnya kenikmatan seksual. Yang dituju acap kali keinginan untuk mempermalukan si korban;
“Domination rape” yaitu pemerkosaan yang dilakukan oleh mereka yang ingin menunjukan kekuasaannya, majikan yang memerkosa bawahannya. Tidak ada maksud untuk menyakitinya. Keinginannya adalah bagaimana memilikinya secara seksual;
“Seduction turned into rape” yaitu pemerkosaan yang ditandai dengan adanya relasi antara pelaku dengan korban. Jarang digunakan kekerasan fisik dan tidak ada maksud mempermalukan. Yang dituju adalah kepuasan si pelaku dan si korban menyesali dirinya karena sikapnya yang kurang tegas;
“Exploitation rape” merupakan jenis pemerkosaan dimana si wanita sangat bergantung dari si pelaku baik dari sosial maupun ekonomi. Acap kali terjadi dimana si isteri dipaksa oleh suami. Kalaupun ada persetujuan bukan karena ada keinginan seksual dari si isteri, melainkan acap kali demi kedamaian rumah tangga.[46]
Mencermati pendapat Steven Box tentang bentuk-bentuk pemerkosaan maka ada bentuk pemerkosaan yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 285 KUHP misalnya pemerkosaan yang dilakukan karena ada hubungan baik sebelumnya, sehingga dilakukan tanpa kekerasan, atau perkosaan yang dilakukan karena adanya paksaan dari suami.
F. Faktor Penyebab Incest
Pada dasarnya seseorang manusia merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang memerlukan pertemuan biologis atau sosial, setiap kelompok itu adalah normatif, artinya, terpaut didalamnya tumbuh norma-norma dari rtingkah laku sesuai dengan keadaan yang terbentuk dari aktivitas khusus dari kelompok, dengan demikian menurut A Lacassagne teori lingkunganlah yang memberikan kesempatan sebagai penyebab timbulnya suatu kejahatan.
Bonger menekankan bahwa sumber dari segala kejahatan adalah kemiskinan dan kesengsaraan; Artinya menurut Bonger pengaruh keadaan terhadap jiwa manusia, kesengsaraan membuat fikiran menjadi tumpul, kebodohan dan ketidak biadaban merupakan penganut-penganutnya; Faktor ini merupakan yang berkuasa atas timbulnya kejahatan khususnya incest. Kenekatan pelaku melakukan perbuatan incest ini merupakan suatu kebodohan yang nyata[47] terlebih lagi tanpa ditopang oleh pengetahuan dan keyakinan ajaran agama yang dimiliki
Socrates mengungkapkan bahwa: manusia masih melakukan kejahatan karena pengetahuan tentang kebijakan tidak nyata baginya; karenanya pendidikan yang dilaksanakan di rumah dan di sekolah memegang peranan yang sangat penting dalam mebentuk keperibadian seseorang, dan pendidikan yang jelek atau kegagalan di sekolah lalu dikembangkan di rumah akan mengakibatkan timbulnya suatu kejahatan, dan oleh Van Hamel ditambhkan lagi dengan keadaan lingkungan yang mendorong seseorang melakukan kejahatan, meliputi keadaan alam (geografis, dan klimatologis), keadaan ekonomi dan tingkat keberadaban[48],
Berpijak dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa faktor lingkungan dipengaruhi sub faktor didalamnya, yang selalu memainkan peranan penting, yaitu keadaan sosial dan budaya yang tercipta pada interen keluarga maupun sekitar tempat tinggal (marginal), termasuk juga kemajuan teknologi baru seperti pengaruh tontonan yang merangsang dan kebiasaan yang tidak membatasi aurat pria dan wanita, lantaran beranggapan terdapat hubungan darah yang amat dekat (sekeluarga), sementara tanpa disengaja lama-lama menjadi sebuah kebiasaan (ketagihan) untuk terus melakukan seksual incest, karena dianggap perbuatan incest tersebut dipandang cukup aman dilakukan dan tidak ada perlawanan yang berarti, sebab si anak karena kepatuhan dan mengingat bakti orang tua kepadanya, merasa enggan dan bungkam untuk membeberkan keburukan keluaraga sendiri
G. Dampak Korban Perkosaan
Perkosaan dapat menimbulkan penderitaan bagi korban; Secara umum penderitaan korban sebagaimana dikutip Topo Santoso sebagai berikut:
Dampak secara fisik adalah: sakit asma, menderita migrain, sulit tidur, sakit ketika berhubungan seksual, luka pada bibir (lesion on lipcaused by scratch), luka pada alat kelamin, kesulitan buang air besar, luka pada dagu, infeksi pada alat kelamin, kemungkinan tidak dapat melahirkan anak, penyakit kelamin, infeksi pada pinggul dan lain-lain;
Dampak secara mental adalah: sangat takut sendirian, takut pada orang lain, nervous, sering terkejut, sangat kuatir, sangat hati-hati dengan orang asing, sulit mempercayai seseorang, tidak percaya lagi pada pria, takut akan seks, merasa orang lain tidak menyukainya, dingin secara emosional, sulit berhadapan dengan publik dan teman-teman, membenci apa saja, mengisolasi diri, ketakutan, mimpi-mimpi buruk, merasa dunia tidak seindah yang diduga;
Dampak dalam kehidupan pribadi dan sosial: ditinggalkan teman dekat, merasa dikhianati, hubungan dengan suami memburuk, tidak menyukai seks, tidak bisa jatuh cinta, sulit membina hubungan dengan pria, takut bicara dengan pria, sulit mempercayai atau sungguh-sungguh mencintai, menghindari setiap pria, benci terhadap si-pelaku.[49]
Reni Akbar Hawadi, seorang psikolog mengaskan bahwa tidak jarang wanita korban perkosaan terutama yang masih gadis, terguncang jiwanya. Guncangan jiwa inilah yang menjadikan korban perkosaan terkadang takut, cemas, gelisah, mudah marah, malu, merasa diri tidak normal, menangis bila teringat peristiwa tersebut dan cenderung menutup diri.[50]
Soerjono Soekanto,[51] menegaskan bahwa korban Incest melahirkan derita yang tidak sederhana; Tekanan kekecewaan, konflik dan kekhawatiran yang tidak teratasi, menimbulkan gejala neurosis: seperti rasa takut yang berlebihan, panik, putus asa, perilaku tidak terkendali, kecapaiaan psikis dan psichosis, seperti tidak mengacuhkan lingkungan sekitar, selalu dibayang-bayangi oleh hal-hal yang seolah-olah mengancam dirinya, timbul rasa depresi yang kuat
Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas maka seorang wanita yang menjadi korban perkosaan sangat menderita dalam kehidupannya, baik penderitaan fisik, mental dan sosial. Artinya, bukan hanya saja korban secara langsung, tetapi juga orangtua atau keluarga intinya juga mengalami dampak psikologis yang luar biasa; Dampak terhadap wanita korban perkosaan ini seperti: berubah prilakunya, kurang ceria, kadang-kadang menangis, mengurung diri di kamar, malu bertemu dengan sesama, tidak mau belanja ke pasar, kemungkinan terjadi kehamilan atau tertular penyakit kelamin; Dampak lain sebagai akses dari perkosaan, ada yang ditunda sekolahnya, bahkan ada yang berhenti tidak sekolah lagi
H. Kesimpulan
Secara umum dapat disimpulkan bahwa korban perkosaan sedarah (Incest) merupakan korban kejahatan yang cukup mencemaskan; Penderitaan yang dialami korban dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, yaitu penderitaan fisik, penderitaan mental dan penderitaan pribadi maupun sosial; Penderitaan fisik atau penderitaan materiel yang dialami korban, yaitu terdapat luka-luka fisik, baik luka robek pada vagina korban maupun luka lecet atau luka memar pada bagian tubuh lainnya (akibat pemaksaan); Penderitaan psikologis yaitu rasa takut, rasa malu, rasa berdosa, merasa tidak memiliki harga diri lagi merasa cemas atau kuatir terhadap masa depannya; Penderitaan pribadi dan sosial berdampak bukan hanya pada diri korban, tetapi menyangkut keluarga besar (keluarga inti) dalam kehidupannya: ditinggalkan teman dekat, merasa dikhianati, hubungan dengan suami maupun sedarah memburuk, tidak menyukai seks, tidak bisa jatuh cinta, sulit membina hubungan dengan pria, takut bicara dengan pria, sulit mempercayai atau sungguh-sungguh mencintai, menghindari setiap pria, benci terhadap si-pelaku meskipun sedarah dengan korban.
Al-Qur’an memang tidak menyebutkan secara khusus tentang perkosaan, akantetapi lebih menitik beratkan tentang zina, apakah dilakukan suka-sama suka oleh keduabelah pihak atau karena memaksa seseorang untuk melakukan zina (memperkosa); Artinya jika ada bukti bahwa kehamilan perempuan itu karena diperkosa, maka baginya tidak dikenakan hadd zina[52] sementara yang dikenakan hukuman adalah terhadap pelaku perkosaan, sama adakah si pemerkosa itu telah menikah atau belum.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Arif, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001
--------------, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998
Al-Awwa, Muhammad Salim, “The Basis Of Islamic Penal Legislation”, dalam Bassiouni, M. Cherif, The Islamic Criminal Justice System, London, Paris Rome- New York: Oceana publiation 1882
B. Bosu, Sendi-sendi Kriminologi, Usaha Nasional, Surabaya, 1982
Darma Weda, Made, Kriminologi, Cet.I. Raja Grafindo, Jakarta, 1996
Dep. Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, 5, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990
Djirosisworo, Soedjono, Ruang Lingkup Kriminologi, Armico, Bandung, 1985.
Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996
Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan (Suatu Kumpulan Karangan). Cet II, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993
Hawari. Dadang. 1991. Perlindungan Korban Perkosaan. Solo.
Husin, Kadri, Pelaksanaan Penerapan Hak--Hak Tersangka/ Terdakwa Menurut KUHAP Dalam Proses Peradilan Pidana, Desertasi, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 1997
I Doi, Abdul Rahman, Tindak Pidanan Dalam Syari’at Islam, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1992
Muladi dan Arif, Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992
Muladi, Demokratisasi Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002
--------------, Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cet.1, UNDIP, Semarang, 1995
Paul Sparovic, Zvonirmeir, Victimologi Studeis Of Victim, Zegrib, 1985
R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta Komentarnya Politeia, Bogor, 1980
Reksodiputro, Mardjono, Hak Azasi Manusia dalam Sisitim Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan
--------------, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Pradilan Pidana, Kumpulan karangan buku Keempat, Cet.I, LKUI, Jakarta, 1997
Buku ketiga, Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi UI-Jakarta, 1997
Resolusi Majlis Umum PBB No.40/34 tanggal 29 November 1985;
S.R. Sianturi, 1996
Sabiq, Sayyid, alih bahasa, Fikih Sunnah, VI, PT.Al-Maarif, Bandung, tt
Sahetapy J.E, Ed. Bunga Rampai Viktimasi, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum, Eresco, Bandung, 1995
--------------, Viktimologi Sebuah bunga rampai , Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987
Santoso, Topo, Seksualitas dan Hukum Pidana, Cet. I, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997
--------------, Menggagas Hukum Pidana Islam, Asy-Syamil Press, Bandung, 2001
Soekanto. Soerjono.1983. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Alumni. Bandung.
Soepomo, R, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Cet. II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977.
Surachman, Perlindungan Korban Kejahatan dikaitkan dengan Tuntutan pidana oleh Penuntut Umum, (makalah disampaikan pada seminar Pusat penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI di Jakarta) tanggal 08 Nopember 1999
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990
Warman, Edi, Victimologi Kaitannya dengan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1999
B. UUD/ Artikel/ Majalah/ Koran
Al-Rasyid, Harun, Naskah UUD 1945 sesudah Tiga kali Di ubah oleh MPR, UI-Press, 2002
Majalah Wanita Kartini No.Melinium 2004 Februari, Maret 2000,
Harian Lampung Post, Kamis, 02 Desember 2004
Harian Lampung Post, Selasa, 17 Mei 2005
Harian Radar lampung tanggal 28 Nopember 2001
Harian Radar lampung, Sabtu 05 Maret 2005
[1] Dosen Tetap/ Lektor Kepala pada Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Bandar Lampung
[2] Sahetapy, J.E, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987: 36
[3] Mardjono, Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Pradilan Pidana, Kumpulan karangan buku Keempat, Cet.I, LKUI, Jakarta, 1997: 5.
[4] Muladi dan Arif, Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,1992:79
[5] Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990: 435
[6] Arif, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hlm: 261
[7] Dadang Hawari. 1991. Perlindungan Korban Perkosaan. Solo. Hlm: 12
[8] Lampung Post, Selasa, 17 Mei 2005, hlm: 07, kolom 6-8
[9] Lampung Post, Kamis, 02 Desember 2004, hlm: 07, kolom 4-6
[10] Radar lampung, Sabtu 05 Maret 2005, hlm: 06, kolom: 6-7
[11] Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Cet.I, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997: 48
[12] Sayyid, Sabiq, alih bahasa, Fikih Sunnah, VI, PT.Al-Maarif, Bandung, tt: 118.
[13] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cet.1, UNDIP, Semarang, 1995: 66; Lihat juga S.R. Sianturi, 1996: 57
[14] Harun Al-Rasyid, Naskah UUD 1945 sesudah Tiga kali Di ubah oleh MPR, UI-Press, 2002: 23
[15] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998 : 53-54
[16] Muladi dan Arif, Barda Nawawi, Op Cit: 78
[17] R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Politeia, Bogor, 1980: 182
[18] J.E, Sahetapy, Op Cit, 1987: 42
[19] Soepomo, R, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Cet. II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977: 110-111.
[20] Surachman, Perlindungan Korban Kejahatan dikaitkan dengan Tuntutan pidana oleh Penuntut Umum, (makalah disampaikan pada seminar Pusat penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI di Jakarta) tanggal 08 Nopember 1999: 01
[21] B. Bosu. 1982. Sendi-sendi Kriminologi. Usaha Nasional. Surabaya. Hlm: 24
[22] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Suatu Kumpulan Karangan). Cet II, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993: 46; dan Lihat juga J.E, Sahetapy, Op Cit, 1987: 35; Lihat juga Edi Warman, Victimologi Kaitannya dengan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1999: 19-20
[23] Dep. Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, 5, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002, hlm: 238
[24] Abdul Rahman I Doi, Tindak Pidanan Dalam Syari’at Islam, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm: 31
[25] Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, Asy-Syamil Press, Bandung, 2001, hlm: 197; Lihat Muhammad Salim Al-Awwa, “The Basis Of Islamic Penal Legislation”, dalam Bassiouni, M. Cherif, The Islamic Criminal Justice System, London, Paris Rome- New York: Oceana publiation 1882, hlm: 14
Lihat: El Awa, 1882, hlm: 14
[26] Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, hlm: 2026-2027
[27] R. Soesilo, Op Cit: 182
[28] Barda Nawawi, Op Cit.1998: 55
[29] Kadri Husin, Pelaksanaan Penerapan Hak--Hak Tersangka/ Terdakwa Menurut KUHAP Dalam Proses Peradilan Pidana, Desertasi, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 1997: 90
[30] Mardjono Reksodiputro, Hak Azasi Manusia dalam Sisitim Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku ketiga, Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi UI-Jakarta, 1997, hal: 104
[31] Mardjono Reksodiputro, I b i d, hal: 104-105.
[32] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Suatu Kumpulan Karangan). Cet II, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993: 40; dan Lihat juga J.E, Sahetapy, Viktimologi Sebuah bunga rampai , Cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987 : 35 ; Lihat juga Edi Warman, Victimologi Kaitannya dengan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah , Mandar Maju, Bandung, 1999 : 19-20
[33] Sahetapy, Op. Cit, hal: 7-8.
[34] Ediwarman, Op Cit, hal: 20-21. ; Lihat Juga, Zvonirmeir Paul Sparovic, Victimologi Studeis Of Victim, Zegrib, 1985: 29
[35] Sahetapy, Ed. Bunga Rampai Viktimasi, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum, Eresco, Bandung , 1995. hal . v - vi.
[36] Sahetapy, I b I d: vi-vii; Lihat: Resolusi Majlis Umum PBB No.40/34 tanggal 29 November 1985; Lihat juga, Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Adiya Bakti, Bandung, 998: 54
[37] Barda Naawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001: 49
[38] Reksodiputro, I b i d, hal.: 103-104 ; Lihat juga, Barda Nawawi Arief, Op Cit, 2001 , hal: 56-59
[39] Surachman, Perlindungan Korban kejahatan dikaitkan dengan Tuntutan Pidana oleh Penuntut Umum, (makalah disampaikan pada seminar Pusat penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI di Jakarta), Tanggal 08 Nopember 1999: 4-5;
[40] Muladi, Demokratisasi Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002: 62
[41] baca: Radar lampung tanggal 28 Nopember 2001 mengangkat berita tentang seorang anak berumur 12 tahun yang sekaligus anak angkatnya, diperkosa oleh ayah angkat berinisial CH, sekaligus juga sebagai kepala SLTP swasta di Bandar Lampung, yang telah berusia 48 tahun.
[42] Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Cet. I, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997:13-14
[43] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990: 673
[44] R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta Komentarnya Politeia, Bogor, 1980:181-182
[45] Made Darma Weda, Kriminologi, Cet.I. Raja Grafindo, Jakarta, 1996, hal: 71.
[46] Darma Weda, Ibid, hal. 72-73.
[47] Soedjono Djirosisworo, Ruang Lingkup Kriminologi, Armico, Bandung, 1985, hlm: 167.
[48] B. Bosu, Sendi-sendi Kriminologi, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, halm: 24 dan 39
[49] Santoso Op.Cit. Hal. 40-42.
[50] Majalah Wanita Kartini No.Melinium 2004 Februari, Maret 2000, hal: 33
[51] Soerjono Soekanto. 1983. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Alumni. Bandung. Hlm: 44
[52] Dep. Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, 5, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002, hlm: 238
Langganan:
Postingan (Atom)